Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Jangan Tuang Rindumu di Kompasiana, Kena Slepet

29 Desember 2023   08:03 Diperbarui: 29 Desember 2023   08:09 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Tangkapan layar di grup WA KPB atas unggahan Siska Artati.


Ini serius!

Jangan sembarangan bercerita soal rindu di Kompasiana. Karena diksi "rindu" dapat mengganggu interaksi sesama Kompasianer (lihat sekali lagi ilustrasi di atas).

Jangan tertawa. Ini bukan sesuatu yang lucu, walaupun artikel ini aku masukkan ke kanal humor. Ini fakta.

***

Kemarin pagi grup WA KPB sedikit gempa bumi. Ini terjadi saat Kompasianer Siska Artati curcol di grup. Ia mempertanyakan, sekaligus terheran-heran, kenapa puisinya dikarantina.

Ini puisi, lho. Bukan artikel politik. Puisinya pun hanya bercerita soal rindu. Takada yang aneh dalam puisi itu. Memang ada diksi candu dalam bait puisinya. Tapi itu kan metafora. Bukan arti sebenarnya. Lengkapnya baca di sini.

Tahun politik membuat banyak orang mudah curiga, termasuk "mesin" Kompasiana. Gampang sensi. Bahkan untuk sebuah puisi. Itu pun hanya bercerita soal rindu.

Mungkin Mimin telah diracuni Dilan, bahwa rindu itu berat hingga nggak bakalan kuat menanggungnya. Kalau Mimin nggak kuat biar aku saja.

Rindu memang bertetangga dengan cinta. Karena rindu menimbulkan cinta. Atau cinta yang menyebabkan rindu. Dan cinta bisa membunuhmu, kata Band D'Masiv.

Dan Mimin rupanya tak ingin terbunuh oleh cinta. Kasihan 'kan dengan para Kompasianer pemburu K-reward?

Tapi Mimin perlu diingatkan sekali lagi, puisi hanya luapan perasaan yang diwujudkan dengan kata-kata. Bisa nyata bisa juga bumbu fiksi. Puisinya sering bersembunyi dengan metafora.

Kalau ada kata pisau, api, ledakan, membunuh, jangan buru-buru diartikan sebenarnya. Itu mungkin cara mengungkapkan cinta secara rahasia. Atau meluapkan patah hati secara sunyi.

Puisi tempat belajar percaya, karena puisi tidak pernah meminta percaya (M Aan Mansyur; Cara Lain Membaca Sajak Cinta). Tapi menulis puisi berarti mengubah setumpuk abu menjadi hutan; berarti merebut bahasa (masih M Aan Mansyur; Tuhan di Kedai Kopi).

***

Lebakwana, Desember 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun