Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Peniup Terompet Pak Lurah

13 Oktober 2023   18:33 Diperbarui: 13 Oktober 2023   18:40 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Gambar oleh garten-gg/ Pixabay

Ada kebimbangan -- atau mungkin lebih tepat, kecemasan -- yang menyeruak saat pertemuan tadi malam. Memikirkan bagaimana nasib peruntungan ke depannya. Semua lebih banyak tenggelam dalam hening. Kalaupun ada percakapan yang keluar, itu bernada putus asa.

Pak Lurah sebentar lagi lengser. Tentu tenaga mereka tak diperlukan lagi. Lanjutannya, takada uang pemasukan. Selama ini mereka terkenal sebagai gerombolan militan. Bereaksi cepat kepada siapa pun yang berani mengritik Pak Lurah. Serempak membunyikan terompet. Bising. Kalau perlu sampai di depan rumah.

"Tet tet tet ...! Kalian kelompok kardus!"

"Barisan sakit hati!"

"Radikal!"

"Pak Lurah adalah nomer satu di dunia!"

Baca juga: Daun-daun Luruh

"Tet tet tet ...!"

***

Motto mereka: Membenci berlipat-lipat kepada siapa pun yang mengritik Pak Lurah.

Warga sebenarnya resah dengan kelakuan mereka.  Masak ada warga yang cuma mempertanyakan kebijakan Pak Lurah, langsung gerombolan peniup terompet membunyikan terompetnya. Bahkan dekat telinga. Diikuti ke mana pun warga pergi.

Belanja ke pasar, mengantar anak sekolah, pergi ke kantor, pergi berobat, selalu diikuti dengan disertai membunyikan terompet. Bahkan ibu-ibu sekadar kumpul-kumpul arisan pun dicurigai.

Ada seorang warga mempunyai terompet sendiri, eh, terompet itu dirampas petugas keamanan. Katanya suara terompet itu tidak sama dengan suara-suara terompet yang terdengar selama ini. Dan warga itu ditanyai macam-macam. 

Pernah diusahakan untuk melaporkan kepada Kepala Keamanan, tapi takada tindakan lanjutan apa pun. Sekretaris Desa membantah kalau gerombolan peniup terompet dibiayai pihak kelurahan.

"Tidak! Kami tidak tahu gerombolan itu," kilah Pak Sekdes.

***

Dan kini gerombolan peniup terompet itu sedang gundah. Pak Lurah akan lengser. Kepada siapa lagi minta uang rokok atau uang jajan untuk saweran kalau ada acara dangdutan orgen tunggal?

Padahal mereka sudah meniup-niup, memengaruhi warga, agar jabatan lurah sampai tiga periode. Atau, setidaknya diperpanjang sampai pemilihan lurah yang baru.

Memang (katanya) ada survei, bahwa tingkat kepuasan akan kinerja Pak Lurah hampir mencapai seratus persen. Bahkan bayi yang lahir hari ini puas dengan kinerja Pak Lurah. Anehnya, hanya sekitar lima belas persen warga akan memilih calur (calon lurah) yang diusulkan Pak Lurah.

Tidak. Warga menolak apa pun yang berkaitan perpanjangan masa jabatan Pak Lurah.

***

Malam ini mereka berkumpul kembali.

Gerombolan peniup terompet itu masih menimbang-nimbang apa yang akan dilakukan selanjutnya. Mereka bersilang pendapat.

"Kita tetap tegak lurus kepada Pak Lurah." Seseorang bicara.

"Tapi masalahnya Pak Lurah sebentar lagi lengser. Siapa yang membayar kita?" Suara yang lain.

"Kita dukung tiga calon yang ada."

"Betul."

"Setuju."

"Saya dukung Pak Slamet."

"Aku memilih Mas Gandung. Rambutnya putih, itu tanda orang bijaksana."

"Saya tetap berpihak pada Pak Kasihan. Saya kasihan karena Pak Kasihan beberapa kali kali gagal dalam pemilihan lurah."

"Bagaimana dengan Pak Lurah yang sekarang?" seseorang bertanya.

Semuanya mendadak terdiam. Saling pandang.

"Kita tinggalkan." Suara agak tertahan.

"Kita akan dituduh sebagai kelompok yang tak tahu berterima kasih. Kita seharusnya tenggelam bersama-sama Pak Lurah."

"Tenggelam? Maaf, ya ...! Saya mau beli HP baru, baju baru, juga tiap malam Minggu bisa makan kacang dan beberapa botol minuman. Hahaha!"

"Kamu keterlaluan!"

"Apa salahnya? Segala tuntutan hidup harus disiasati. Untuk saat ini profesi peniup terompet masih sangat dibutuhkan. Dan saya tahu bahwa saya seorang yang cerdik. Hahaha ...!"

"Maksudmu, bagaimana?"

"Pak Lurah tak bisa lagi menjadi gantungan hidup. Kita ini tak ubahnya seperti tentara bayaran. Kesetiaan kita hanya kepada Tuan yang mau membayar. Tak peduli siapa orangnya. Sekalipun kita diminta untuk mendorong Pak Lurah sekarang, lebih cepat masuk jurang."

***

Ruang tunggu sebuah rumah sakit, Oktober 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun