Kita bukan sedang berperan dalam sebuah tonil. Bersitatap, lalu saling kirim isyarat gigil. Tersenyum, barangkali. Mungkin juga menanyakan nama, tempat kerja, nomer hp, atau cerita-cerita remeh-temeh agar kita dapat berlama-lama bersama.
Bukan. Tidak seperti itu.
Ini soal jarak. Bicara jarak, jangan bayangkan rentang kilometer. Kita dekat, begitu dekat. Seperti buih laut dengan ombaknya, bak usai rinai gerimis dengan pelanginya, laksana debar dada dengan jantungnya.
Kita selalu bersama. Setiap hari. Setidaknya pada hari-hari kerja, dari jam delapan pagi hingga pukul empat sore.
Dan aku tahu kebiasaanmu.
Kau datang selalu tepat waktu. Langkah kaki yang tak tergesa-gesa. Senyum tipis, menyapa rekan kerja yang terlebih dahulu sampai. Tentu juga terhadap diriku. Dengan anggukan kepala, pelan.
Aroma parfum yang lembut, menguar dari tubuhmu. Musk? Atau vanilla? Ah, aku suka.
Aku juga hapal urutan-urutan apa yang kau lakukan. Duduk, menghirup teh hangat (yang memang sudah disediakan), membuka laptop, lalu mengetikkan sesuatu. Sesekali kau menyisir rambutmu dengan jemarimu (hampir aku lupa, aku juga tahu tiap berapa bulan sekali kau mengganti model rambutmu).
Harus kuakui juga, aku paling senang bila tugas lapangan. Dan kita satu tim; kau yang memimpin. Itu kesempatanku lebih dekat lagi denganmu.
Aku akan pura-pura bertanya, yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Lalu aku sedikit protes. Bukan bermaksud tidak setuju dengan penjelasanmu, tapi hanya untuk berlama-lama mendengar suaramu.