Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Alasan untuk Mencintaimu

26 April 2023   06:10 Diperbarui: 26 April 2023   06:37 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita bukan sedang berperan dalam sebuah tonil. Bersitatap, lalu saling kirim isyarat gigil. Tersenyum, barangkali. Mungkin juga menanyakan nama, tempat kerja, nomer hp, atau cerita-cerita remeh-temeh agar kita dapat berlama-lama bersama.

Bukan. Tidak seperti itu.

Ini soal jarak. Bicara jarak, jangan bayangkan rentang kilometer. Kita dekat, begitu dekat. Seperti buih laut dengan ombaknya, bak usai rinai gerimis dengan pelanginya, laksana debar dada dengan jantungnya.

Kita selalu bersama. Setiap hari. Setidaknya pada hari-hari kerja, dari jam delapan pagi hingga pukul empat sore.

Dan aku tahu kebiasaanmu.

Kau datang selalu tepat waktu. Langkah kaki yang tak tergesa-gesa. Senyum tipis, menyapa rekan kerja yang terlebih dahulu sampai. Tentu juga terhadap diriku. Dengan anggukan kepala, pelan.

Aroma parfum yang lembut, menguar dari tubuhmu. Musk? Atau vanilla? Ah, aku suka.

Baca juga: Anak Waktu

Aku juga hapal urutan-urutan apa yang kau lakukan. Duduk, menghirup teh hangat (yang memang sudah disediakan), membuka laptop, lalu mengetikkan sesuatu. Sesekali kau menyisir rambutmu dengan jemarimu (hampir aku lupa, aku juga tahu tiap berapa bulan sekali kau mengganti model rambutmu).

Baca juga: Stasiun Kereta

Harus kuakui juga, aku paling senang bila tugas lapangan. Dan kita satu tim; kau yang memimpin. Itu kesempatanku lebih dekat lagi denganmu.

Aku akan pura-pura bertanya, yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Lalu aku sedikit protes. Bukan bermaksud tidak setuju dengan penjelasanmu, tapi hanya untuk berlama-lama mendengar suaramu.

Sedekat itu, tapi aku merasa sangat jauh. Aku seperti dihalangi rasa gemetar yang sulit aku kendalikan.

Itu akan makin menyiksa bila tiba hari Sabtu dan Minggu. Sementara banyak orang menunggu hari-hari libur itu, menuntaskan rencana-rencana yang sudah disusun, aku justru sebaliknya. Aku malah ingin cepat-cepat kembali hari Senin. Bertemu dirimu. Melihat dirimu.

Cinta? Ya. Setidaknya dengan membandingkan film-film percintaan yang pernah atau tonton. Atau pada sebuah novel, yang aku lupa di mana membacanya.

Tapi aku tidak tahu alasan apa untuk mencintaimu. Aku bukan tipe lelaki romantis, yang selalu siap membukakan pintu mobil untuk perempuan yang dicintainya. Bukan pula lelaki yang suka menghamburkan kata-kata puitis, memberikan rangkaian bunga, saat kau berulang tahun.                                      

Namun, kadangkala untuk jatuh cinta tak butuh alasan apa pun.

Itulah aku. Itulah yang terjadi.

Dan kau, apa yang ada dalam pikiranmu mengenai diriku? Apa kau bisa menangkap isyarat-isyarat -- yang mungkin terlihat bodoh -- yang tak sengaja aku lakukan?

Konon, seorang perempuan tahu bila ada lelaki yang menyukai dirinya. Apa kau juga bisa membaca diriku?

Tapi kau diam saja. Biasa saja. Takada semacam perhatian istimewa kepada diriku. Pun terhadap rekan-rekan yang lain. Atau aku terlalu bodoh menangkap semua itu?

Ini menyiksa.

Aku seperti pemimpi tapi tak berani untuk memulai. Padahal, apa pun itu, kita akan menerima pilihan-pilihan: ya atau tidak. Dan yang lebih penting lagi, cinta harus diucapkan.

Itu yang aku lakukan.

***

Barangkali ini sebuah kegilaan.

Waktu dan tempat yang sangat tidak romantis. Tak pernah tergambarkan dalam film, novel, puisi, atau cerita-cerita roman lainnya.

Sore itu seusai tutup kantor, seperti biasa, kau menuju mobilmu di halaman parkir. Aku menahan pintu mobilmu saat kau akan menutupnya.

Kau sedikit terkejut. Lebih tepatnya, keheranan.

Dan tumpah, semuanya. Kutumpahkan semuanya yang selama ini menghimpit dadaku. Aku sedikit cemas, tapi terasa lega. Dan aku sudah siap menerima apa pun yang akan terjadi.

Kau diam. Tapi aku bisa menangkap kalau tubuhmu sedikit bergetar. Berkali-kali kau gagal menghidupkan mobilmu. Melihat itu aku langsung memutar kunci kontakmu ke posisi off.

Menyentuh tanganmu. Dingin. Atau telapak tanganku?

Aku menatapmu, menunggu jawaban. Mukamu terlihat memerah. Kau menunduk, diam. Lima detik ..., 10 ..., 32 ..., 49, 50, 51...!

Akhirnya: "Sama. Aku juga."

Aku seperti meledak.

***

Lebakwana, April 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun