Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Beberapa yang Nganu dari Penulis Puisi, Nomer 4 Jangan Dibaca

22 Januari 2023   19:39 Diperbarui: 22 Januari 2023   20:03 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Pinterest

Pertama, malas membaca.

Ini dapat terbaca dari puisi yang mereka tulis. Ragam kosakata yang miskin, takada lompatan imajinasi. Padu-padan kata seadanya, sangat biasa. Padahal puisi tercipta karena sebelumnya kita sudah berenang di lautan imajinasi. Dan lautan imajinasi bisa terkumpul, itu karena kita banyak membaca.

Dengan membaca kita dapat menemukan kosakata yang baru. Bukan berarti diksi-diksi yang aneh, tapi kata yang sebenarnya merupakan kata yang umum. Dengan kepiawaian sang penulis, dipadukan dengan kata yang lain akan terbentuk frasa yang menarik.

Rindu, cinta, hujan, kopi, senja, malam, bulan, matahari, doa, Tuhan, ibu, air mata, dan ... (tambahkan sendiri), itu kata -kata yang umum. Puluhan tahun lalu para penyair sudah menulis diksi itu. Chairil Anwar, 80 tahun lalu, sudah menulis Senja di Pelabuhan Kecil.

Apakah kita akan menulis senja lagi?

Tidak masalah. Intinya jangan terlalu banyak pengulangan. Setidaknya kita membuat frasa yang mungkin tak terduga penulis lain.

Matahari akan tidur di peraduan, langit memerah di ufuk barat, langit jingga, itu frasa-frasa yang sering diungkap untuk menggantikan kata senja. Apa memang takada frasa lain? Saya rasa ada kalau kita mau membaca.

Juga rindu, cinta. Masih banyak kata lain untuk menggantikan kata itu.

Namun, kalau kita hanya membaca di bawah tempurung, puisi kita takkan pernah beranjak. Puisi yang pertama kali kita tulis sama saja dengan puisi yang ke-10.000. Gaya ucap dan pemilihan diksi yang itu-itu lagi.

***

Nganu yang kedua, enggan belajar.

Efek turunannya setelah malas membaca, tentu, enggan belajar. Sehingga puisi yang dihasilkan hanya sekadar memindahkan erangan di buku harian. Atau rentetan kalimat dipenggal-penggal beberapa bait -- seolah-olah -- menjadi puisi.

Puisi adalah salah bentuk sastra yang cepat berkembang. Bebas, bahkan terkesan selalu mendobrak pakem-pakem yang sudah ada. Makanya terasa nganu kalau menulis puisi harus taat teori. 

Puisi harus dipenggal beberapa bait, dalam satu bait harus sekian larik, dalam satu larik musti sekian kata. Untuk penulis pemula bolehlah teori itu dipegang.

Dulu, penyair tahun 30-an, puisinya masih tema romantis, dengan gaya tutur mendayu-dayu. Datang Chairil Anwar mengacak-acak itu semua: "Kalau sampai waktuku ...!"

Chairil dan penyair setelahnya mendobrak "aturan-aturan" cara berpuisi. Tema dan cara ucap yang beragam. Tak melulu soal rindu dan cinta. Mereka menyelipkan dinamika sosial, budaya, politik, yang terjadi pada masanya.

Sebagai contoh, ada Taufik Ismail menulis antologi Benteng dan Tirani. WS Rendra dengan sajak-sajak protesnya. Juga Goenawan Mohamad, memotret Tentang Seseorang yang Terbunuh di Hari Menjelang Pemilihan Umum: "... seorang pun mengenalinya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.//
"Berikanlah suara-Mu."// Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang/ luka yang lebih. Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda/ meninggalkan bisik. Orang ini tak berkartu, ia tak bernama./ Ia tak berpartai. Ia tak bertanda gambar. Ia tak ada yang/ menangisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan/ agamanya?// "Juru peta yang Agung, di manakah tanah airku?"// ...."

Juga, Yudhistira ANM Massardi, dengan puisi humor, nakal, bahkan satire. Lihat Sajak Sikat Gigi yang ditulisnya.

Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidur ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka

Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali

Dan dia berpendapat bahwa, kejadian itu terlalu berlebih-lebihan.

(1974; Sajak Sikat Gigi).

Sebut lagi, Sutardji Calzoum Bachri, dengan kredo membebaskan makna dari kata. Tardji menggeram, menghentak, seperti menceracau lewat sajak-sajak mantranya. 

Dan Sapardi Djoko Damono dengan puisi romantiknya.

Dan Afrizal Malna, mengusung idiom-idiom urban dalam puisinya.

Dan, tentu, Joko Pinurbo. Puisi dengan permainan bunyi bergaya jenaka.

Dan ... (tulis nama kamu sendiri).

Mereka semua itu adalah penggila baca, yang mau belajar, hingga mereka mempunyai gaya ucap sendiri.

***

Ketiga.

Setelah malas membaca, enggan belajar, repotnya merasa puisi yang ditulisnya adalah puisi nomer satu di dunia. Bersikap bodo amat.                                      

O, saya menulis karena iseng saja. Terserah, puisi saya memang begini. Dan banyak lagi alasan.

Tapi perlu diingat, sekali tulisan kita ditulis untuk bisa dibaca orang lain, kita harus menerima konsekuensinya. Bisa dapat pujian, kritik, atau mungkin tak dilirik sama sekali. Mungkin pembaca sudah tahu puisi yang kita tulis, itu lagi, itu lagi.

Kalau di blog semacam Kompasiana ini, ada yang memberi vote, komentar, mungkin karena tak enak dengan rasa pertemanan yang sudah terjalin. Bukan karena puisi kita yang bagus.

***

Setelah dipikir-pikir ternyata ketiga kriteria itu ada pada diri saya. Wkwkwk.

***

Nganu yang keempat.

Seperti yang saya tulis pada judul, nomer 4 jangan dibaca. Karena sudah saya tulis begitu tentu kamu takkan membacanya lagi. Jadi, untuk apa lagi saya menuliskannya?

Yuk, sama-sama belajar.

***

Lebakwana, Januari 2023

Catatan.
Referensi dari berbagai sumber.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun