Saya begitu bergairah. Rasanya ada yang hilang kalau saya tidak menjumpai Lily, tokoh novel saya. Saya seperti masuk dalam cerita yang saya buat sendiri.Â
Bercinta dengan Lily, menggebu-gebu. Merampok, setelah itu berfoya-foya. Adrenalin semakin terpacu melihat korban merintih-rintih minta ampun. Dan, "Dor!" Ada kepuasan melihat tubuh korban terpental-pental.Â
Saya seperti mengalami halusinasi. Kerasukan. Atau deja vu? Terserah apa istilahnya.Â
Sungguh. Saya seperti melihat tokoh Lily itu nyata. Saya bisa merasakan aroma tubuhnya. Adrenalin yang terpacu saat memegang senjata dalam suatu peristiwa perampokan.Â
Aneh. Tapi saya menikmati.Â
***
Aku bersama kekasihku, lelaki kurus itu (tentu bersama gengku juga), merencanakan perampokan sebuah bank. Rencana sudah disusun matang. Perlengkapan senjata, peta lokasi, juga kendala-kendala yang mungkin nanti dihadapi.Â
Rupanya gerakan kami sudah dicium pihak kepolisian. Aku memang sudah mengantisipasi. Tapi polisi mengerahkan pasukan lengkap.Â
Takada perlawanan ketika para pegawai bank kami lumpuhkan. Juga saat kami menyuruh salah seorang pegawai membuka brankas.Â
Seharusnya aku curiga. Jalanan mendadak sepi. Benar saja. Belum lama kami meninggalkan bank itu, raungan sirene mengejar kami.Â
Satu, tiga, tak kurang dari enam mobil mengejar kami. Belum lagi kendaraan roda dua. Beberapa saat kami terkepung.Â