Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Beberapa Teori untuk Membunuh

4 Januari 2023   19:18 Diperbarui: 4 Januari 2023   19:22 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Teori minyak dan air.

Ada bunyi berderak, kemudian diikuti tubuh yang jatuh. Bergerak sebentar. Diam. Satu ayunan pipa besi pada tengkuknya, sudah cukup membuat Mang Sanip tak bergerak lagi. 

Bersih. Tak ada saksi mata. Juga tak mungkin ada yang curiga. Siapa yang akan menyangka, aku yang pimpinan perusahaan ini membunuh karyawannya sendiri; dan dia hanya sebagai petugas kebersihan, juga membuat minuman untuk karyawan. 

Mang Sanip kubunuh karena ia menumpahkan teh di mejaku, tak sengaja. Tapi bagiku dia layak mati. 

Polisi dalam pemeriksaan awal biasanya menggunakan teori minyak-air -- minyak tak akan bercampur dengan air. Polisi tentu mencari orang-orang yang sederajat dengan korban: tukang parkir, petugas Satpam, petugas kebersihan, dan semacamnya itu. 

Adakah sebelumnya mereka berselisih, bertengkar, hingga menimbulkan dendam. Itu yang akan digali polisi. Ia tidak akan curiga dengan sang Bos, seperti diriku. 

Aku tersenyum puas. 

***

2. Pink dan Joe.

Dua nama ini harus kusebut. Pink adalah desertir yang kini berprofesi sebagai pembunuh bayaran. Dialah yang menghabisi Joe dalam sebuah -- seolah-olah -- kecelakaan. Atas suruhanku. 

Joe adalah pengusaha muda yang sukses. Bisnisnya sama denganku. Terkadang kami saling unggul dalam memenangkan sebuah tender proyek dari pemerintah. Hari aku yang menang, di bulan yang lain Joe yang mengendalikan. 

Tapi aku taksuka disaingi. Apalagi mengelola bisnis yang sama. Dalam satu gunung tak boleh ada dua macan, bukan? Dan Joe harus dilenyapkan. 

***

Tapi, tidak. Tidak! 

Mang Sanip masih hidup, pagi ini ia masih membuatkan minuman untuk karyawan. Juga Joe. Masih kulihat pagi ini pemberitaan dirinya di koran, dalam peresmian kantor pusatnya yang baru. 

Mereka semua kubunuh dalam khayalanku saja. Walaupun belakangan ini ingin rasanya aku membunuh. Tentu ini menimbulkan sensasi yang lain. Membunuh? Hm! 

Aku membayangkan bagaimana rasanya seorang pembunuh setelah menghabisi korbannya. Takut, berdebar-debar, dikejar-kejar rasa bersalah, atau apa? Atau merasa puas?

Tapi secara keseluruhan semuanya punya motif, ada pemicu awal. Entah karena dendam, pertengkaran, atau sebelumnya didahului dengan pencurian atau perampokan. Bahkan seorang pembunuh bayaran pun punya motif. Motif mendapatkan uang. 

Tidak. Aku ingin membunuh bukan karena terpaksa, atau mempunyai motif. Membunuh, ya, membunuh saja. Ringan. Seperti ringannya membeli hamburger di Warung Amerika. Setelah satu dua gigitan, tidak enak, tinggal lempar saja ke tong sampah. 

Aku sendiri tidak tahu kenapa ingin membunuh. Semua sudah kucoba, semua pernah kumiliki. Aku pernah mencoba makanan yang rasanya paling ekstrem, hingga petualangan paling gila. Petualangan seks? Tentu. 

Hanya membunuh yang belum pernah kucoba. Gila, tentu ini pengalaman yang tak terlupakan. Makanya kubeli berbagai senjata -- baik tajam maupun senjata api. Bagiku yang punya jaringan yang luas, sangat mudah membeli senjata api di pasar gelap. 

Maka kumulai rencana-rencana. 

Pernah terpikirkan olehku mengemudikan truk tronton, dengan kecepatan tinggi melindas pejalan kaki di acara car free day. Tentu ini sangat luar biasa. Tapi aku akan cepat tertangkap. 

Racun? Bom? Ini perbuatan pengecut. Merusak reputasiku sebagai pengusaha muda yang cerdas. Aku ingin membunuh di tengah keramaian. Tanpa motif, tanpa kenal sebelumnya dengan korban. Kemudian menusukkan pisau, atau dengan senjata api; tentu saja menggunakan peredam suara. 

Aku akan menikmati bagaimana si korban terheran-heran, kenapa ia dibunuh. Nanti aku akan seperti pesulap yang akan melakukan aksinya, dan meminta bantuan dari salah seorang penonton, mengatakan: "Sebelum ini kita belum pernah bertemu, bukan?" 

Dahsyat! 

Kini aku sering jalan-jalan, berbaur di keramaian. Aku melihat, ada kesempatan atau tidak. Aku juga mempelajari di mana CCTV biasanya diletakkan. Sangat umum: Di pintu masuk atau keluar, di tempat parkir kendaraan. Bila di dalam gedung, paling diletakkan di sudut atas. Masih bisa dihindari. 

Tapi sudah lebih sebulan aku belum bisa menemukan korban yang tepat. Di keramaian, belum kenal, tanpa motif; itu prinsip. Ini semakin memacu adrenalinku 

Kini aku memasuki sebuah mal yang cukup terkenal. Di akhir tahun seperti ini pengunjung sangat ramai. Hm, ini kesempatan. Aku berdebar. 

Aku juga sudah mempelajari suasana dalam mal ini sebelumnya. Di mana CCTV, di mana tempat strategis untuk melakukan eksekusi. 

Di sana, di lantai dua dekat tiang utama, dan ada pagar untuk membatasi ruang terbuka. Tapi sudah tiga kali berputar ke arah itu, aku belum menemukan mangsa. 

Sekarang putaran yang keempat. Nah, itu ada seorang perempuan cantik berjalan ke arah tonggak, bertelekan dengan pagar pembatas. 

Aku mendekati dengan yakin, seolah-olah akan menemui kekasih. 

"Hai!"

Perempuan cantik itu tersenyum. Hm, satu poin sudah masuk. 

"Kamu cocok."

"Cocok? Untuk menjadi kekasih gelapmu?"

"Bukan. Untuk kubunuh."

Perempuan itu tertawa pelan. "Aku suka dengan petualangan lelaki gila," berkata begitu ia merapatkan tubuhnya. Aku terperangah ia memagut bibirku dengan liar. 

Cuma sebentar. 

Ini kesempatan. Perlahan aku meraba pinggangku, dan menempelkan pistol kecil di perut perempuan itu. 

"Bluph, bluph!" Ada dua kali terdengar bunyi letusan dari pistol yang berperedam. Perempuan itu terkejut ada pistol menempel di perutnya. 

Ia sedikit terhuyung ke belakang, menatapku. Sedang aku mendekap perutku yang bersimbah darah, dengan sedikit keheranan. Aku bersandar ke tiang sambil berpegangan pada pagar batas. 

"Maaf, ini mungkin nasibmu yang sial. Berbagai petualangan sudah kutaklukkan. Aku ingin sensasi yang lain. Tapi perlu kau ketahui, aku sudah lama ingin merasakan bagaimana membunuh orang. Tanpa motif, tanpa kenal sebelumnya. Tentu ini ada rasa sensasi yang luar biasa. Dan kau adalah korbanku yang pertama. 

"Oh, ya, sebelum ini kita belum pernah bertemu, bukan?" kata perempuan cantik itu tersenyum, sambil memasukkan pistol kecilnya yang masih berasap ke dalam tas yang disandangnya. 

Sedang aku merasakan tubuhku yang gemetar, menahan agar tak ambruk ke lantai. Aku masih mendekap perutku yang penuh darah. Aku melihat perempuan itu perlahan meninggalkan tempat itu. Pandangan mataku yang semakin nanar, aku masih sempat menangkap senyum perempuan itu. 

Sangat manis! 

***

Lebakwana, Desember 2020. 

Catatan. Cerpen ini pernah tayang di risalahmisteri.com, dengan judul berbeda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun