Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

1 Miliar

10 Agustus 2022   19:55 Diperbarui: 10 Agustus 2022   20:23 3283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tumpukan uang. Sumber: Tribun-Timur.com

Orang-orang di hadapanku, termasuk Mas Alil, seperti menunggu keputusanku. Kalau aku mengiyakan, semua beres. Semua mereka yang mengurusnya. Aku tinggal mengikuti apa rencana-rencana mereka.

Tapi ini gila.

Sedikitpun perkara ini tak pernah terlintas dalam pikiranku. Memakai jas, duduk dalam forum perdebatan, gambar-gambarku bertebaran di setiap sudut kota. Dan, sudah pasti, melayani pertanyaan setiap wartawan.

Bimbang, antara takut dan tak percaya. Namun, uang satu miliar amat menggoda.

1 miliar. 1.000.000.000. Satu miliar!

Sebelum kulanjutkan, aku ingin bercerita sedikit bagaimana aku bisa bertemu Mas Alil.

***

Namaku Surakyat. Boleh dipanggil Sur, Rakyat, Yat atau Yayat. Suka-suka kamulah, mana yang enak terucap di lidah.

Sehari-hari aku berdagang gorengan di Taman Kota, menggunakan gerobak. Sampai di sini tidak ada yang istimewa.

Sampai suatu ketika nama dan fotoku terangkat di koran lokal. Tersebab aku memimpin demo para pedagang kaki lima, memprotes rencana Pemkot Kotamadya Drimo yang akan memindahkan para pedagang kaki lima dari Taman Kota.

Rusuh!

Kata saksi mata para petugas Satpol PP memukuli para pendemo. Juru bicara Pemkot mengatakan, bahwa para pendemo melakukan tindakan anarkis. Koran lokal melaporkan banyak pendemo yang terluka; 7 di antaranya masuk rumah sakit,  termasuk diriku.

Peristiwa ini juga sempat menjadi sorotan televisi nasional. Mungkin itu sebabnya Pak Slamet, Walikota Drimo, mendadak mengunjungi pendemo yang terluka di rumah sakit. Selain itu, mungkin, Pak Walikota Slamet tak ingin meninggalkan kesan yang buruk di akhir masa jabatannya yang tinggal sebentar lagi.

Isu yang lebih penting, karena Pak Slamet ingin menaikkan anak sulungnya, Mas Alil, untuk menggantikannya. Makanya setiap ada acara-acara dari Pemkot Drimo, Walikota Slamet selalu mengajak Mas Alil.

Mas Alil sendiri, dua tahun menjelang berakhir jabatan ayahnya, sering mempromosikan diri. Setiap ada event-event budaya atau olahraga, dapat dipastikan ada nama dia di belakangnya.

Dia juga sudah sering sowan kepada tokoh-tokoh partai, hingga pada saat pendaftaran calon walikota, partai-partai itu diharapkan mendukungnya. Dan benar saja. Mas Alil tidak ada lawan, karena hampir semua partai mencalonkannya.

Sempurna!

Tapi tidak.

Itu kata konsultan politik Mas Alil. Ini berbahaya. Bisa saja nanti Mas Alil dikalahkan kotak kosong. Seperti kejadian di Makassar.

Mas Alil harus dicarikan lawan. Lewat jalur independen, karena lewat partai sudah tertutup. Akhirnya Tim Mas Alil sepakat memilih diriku.

Kenapa? Karena pada diriku terbaca jiwa pembangkang. Ada perlawanan. Ini cocok sebagai lawan tanding Mas Alil yang pembawaannya kalem. Dan yang terpenting, secara hitung-hitungan tak mungkin aku bisa mengalahkan Mas Alil.

Tapi lewat jalur independen, bukankah harus mengumpulkan fotocopy KTP sebagai syarat dukungan? Ini bisa ratusan ribu!

Kami yang akan mengurusnya!

Bagaimana dengan tim kampanye, kaos, spanduk, bendera-bendera, nasi bungkus untuk peserta pawai kampanye ...?

Kami yang mengurusnya!

Bagaimana cara berdebat, menjawab pertanyaan wartawan?

Semuanya sudah kami atur!

Nah, saya dapat apa?

Uang satu miliar. Cash! Dengan satu syarat: Jangan macam-macam!

Satu miliar? Aku gemetar.

***

Dan kini aku berhadapan dengan orang-orang yang disebut "kami" itu. Mereka terlihat tegang, termasuk Mas Alil.

"Oke, saya setuju!" Akhirnya.

Semuanya langsung bertepuk tangan, menyalamiku. Mas Alil sendiri memelukku.

"Tapi saya punya permintaan ...!"

Semua mata tertuju padaku.

"Uangnya harus ditransfer sekarang. Atau setidaknya dalam minggu-minggu ini." Entah kenapa terlontar begitu saja kata-kata itu. "Untuk memastikan kalau saya tidak dibohongi. Dan jumlah itu bersih, tak ada potongan." Aku menambahkan.

"Wah, ini gila. Kita saja belum mulai."

"Rencana gila memang biasanya diikuti kegilaan-kegilaan yang lain," balasku dengan yakin. Adrenalin 'demonstranku' seperti terpacu.

Mereka saling pandang. "Baik, kami pikirkan dalam seminggu ini," Mas Alil yang menjawab.

***

Dan aku akhirnya memang gemetar. Benar-benar gemetar. Seminggu kemudian saldo rekeningku bertambah 1 miliar. Dadaku terasa sesak.

Tetap disertai pesan ancaman: Jangan macam-macam!

Tak masalah.

Kemudian aku dipoles oleh Tim Mas Alil. Bagaimana aku berbicara, bagaimana cara berdebat, menjawab pertanyaan wartawan. Juga saat-saat berkampanye.

Tentu saja keluargaku juga ditatar.

Tentu saja teman-teman terdekatku diberi uang lelah.

Tentu saja aku dikelilingi Tim Pemenangan Pilkada. Semuanya orang-orang Mas Alil. Aku tinggal melaksanakan intruksi mereka.

***

Seperti sudah diduga, Mas Alil (atau nama lengkapnya Kahlil Widodo) menang telak. Ia meraup suara lebih dari 80 %.

Aku sendiri beberapa bulan kemudian pindah dari Kota Drimo. Menikmati hidup dari uang satu miliar itu.

Aku memang cuma tamatan SMA, pedagang gorengan. Yang dalam catatan Dinas Tata Kota, profesiku hanya memperburuk wajah kota.

Masuk kaum marjinal. Selalu masuk daftar bila ada program bantuan pemerintah. Sering menjadi pecundang. Mungkin juga menjadi inspirasi penyair-penyair norak.

Bodoh. 

Tapi tentang uang satu miliar, kurasa aku masih cukup pintar untuk menghitungnya.

***

Lebakwana, Agustus 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun