Saya pernah "tersinggung" dengan sebuah iklan yang tagline-nya berbunyi: "Hare gene nggak punya HP?"
Kurang ajar sekali iklan satu ini. Tahu benar kalau waktu itu saya tidak punya HP. Saya bukannya tak mampu memiliki HP, tapi belum ada uang aja untuk membelinya. Eh, sama, ya?
Sebenarnya begini. Saya dalam keseharian cenderung introvert, jadi tak begitu banyak teman. Lalu mau berhalo-halo dengan siapa?
Kalaupun toh mau menghubungi keluarga, wartel (warung telekomunikasi) masih bertebaran di setiap pojok jalan. Tak begitu merepotkan.
Kemudian, sampailah era penggunaan internet semakin masif. Lahir bermacam media sosial. Gawai pun semakin canggih.
Saya punya HP. Tapi masih sebatas untuk telepon dan mengirim SMS. Akhirnya sampai juga itu barang: Saya punya HP android.
Saya "gugup". Keanehan, keasyikan, dengan dipayungi gaptek "stadium 4", saya pun berselancar. Tentu dengan dibarengi kejengkelan anak gadis saya, karena tiap sebentar menjadi tumpuan tanya. Penggunaan tombol-tombol, fitur-fitur yang asing bagi saya.
Dengan kelelahan sebagai orang lansia, akhirnya sampai juga di halaman Kompasiana. Akun dibuatkan -- lagi-lagi -- oleh nakdis saya. Saya mencoba ikut membanjiri kanal fiksi.
Bagaimana cara menulis, cara memindahkan tulisan, mencari foto untuk ilustrasi, saya mulai -- dan harus -- Â belajar. Bahkan untuk sekadar memberi vote atau komentar pada tulisan orang lain, saya merasa takjub sendiri.
Hingga suatu ketika, pemuisi cantik Lilik Fatimah Azzahra mengadakan event menulis puisi. Saya ikut. Link-nya dimasukkan di kolom komentar, ya. Lilik mewanti-wanti.
Ini dia! Link ini sejenis alien atau makhluk purbakala?
Bolak-balik saya melihat akun Lilik Fatimah Azzahra, berharap bertemu makhluk bernama link ini. Tapi yang saya lihat dari penulis lain (belakangan saya tahu, disebut juga Kompasianer), adalah deretan huruf dan angka-angka yang aneh. Semacam kode rahasia.
Baiklah! Tapi bagaimana caranya menulis kode-kode "intelijen" itu? Kembali anak gadis saya mengajari.
Oh! Begitu mudahnya. Begitu sederhananya.
Hampir saja saya menulis puisi utuh di kolom komentar itu. Apa nanti saya tidak akan ditertawakan Vladimir Putin? Kita harus jaga gengsi, guys. Di hadapan cewek cantik jangan terlalu kelihatan bego. Ehm!
Lanjut!
Dan, tentu, kemudian saya berinteraksi dengan Kompasianer lain. Saling balas vote dan komentar. Lalu saya dicemplungkan Kompasianer Syahrul Chelsky ke grup WA PPB (kemudian berubah menjadi KPB).
Dan merembet ke grup-grup WA yang lain.
Saya seperti kijang masuk kota.
Banyak kata-kata asing, ungkapan-ungkapan aneh, yang memaksa saya mengakrabkan diri.
BTW, OTW, update, kudet (kurang update), maksi, duta, dumay, share, meluncur, streaming, upload, download, posting, daring, o-em-ji (OMG), dan banyak lagi. Kata-kata yang terdengar aneh, bertebaran pula gambar kepala gundul dengan bermacam ekspresi. Tak ketinggalan tertawa ala Medsos, Wkwkwk.
Setelah cukup lama berwe-a ria, saya kenal "duta". Soal ini saya ketahui dari salah seorang Kompasianer. "Kenapa jarang menulis di Kompasiana?" tanya saya suatu ketika.
"Lagi sibuk di duta," jawabnya.
Duta? Ini keren.
Saya memang tahu, banyak penulis  di Kompasiana adalah orang-orang hebat. Dari pejabat tinggi hingga politikus cantik macam Tsamara Amany ikut meramaikan. Jadi kalau ada keluarga diplomat (?) ikut menulis di blog ini saya tak terlalu terkejut.
Tapi saya masih penasaran. "Memang "duta" itu, apa?" japri saya.
"Dunia nyata." Jawaban itu disempurnakan dengan gambar kepala gundul yang tertawa, sambil menutup mulutnya.
Oh! Oh ...! Saya menertawai diri sendiri.
Satu lagi, malming!
Malming? Astaga, kelompok radikal mana yang berani menyusup. Saya sendiri takut menanyakan teman-teman di grup. Malu, sebenarnya.
Anak gadis saya, tentu saja.
Anak gadis saya memandang saya agak aneh. Lama.
Saya cemas. Apakah ia mencurigai bahwa ayahnya telah terpapar faham-faham yang aneh? Nanti bisa saya jelaskan, bahwa saya tidak mengerti soal apa pun selain yang diberi tahu olehnya. Bukankah membuat gmail, akun, dan segala macamnya dia yang mengajarkan? Bukankah ...?
"Klik aja di google. Mau tulisan, ingin gambar, semuanya ada." Jelas sekali suara nakdis saya begitu jengkel.
"Memang malming itu, apa?"
"Malam minggu!"
O-Em-Ji ...! Saya menepuk jidat saya sendiri.
Selain itu saya juga agak sengit kalau sedang berada di dalam angkot atau kereta. Anak-anak milenial hingga mahmud (mamah muda) begitu gape bermain HP.
HP dipegang dengan kedua tangan, dan kedua jempol bergerak cepat, seperti mempunyai mata. Membuat saya minder, nyungsep ke dalam perut bumi.
Tahu cara saya bermain HP?
HP dipegang tangan kiri. Jari telunjuk tangan kanan bergerak untuk men-scroll atau meng-klik. Ukurannya, kalau anak milenial itu sudah mengetik sepuluh kata, saya mungkin baru 3 kata.
Katrok, ya, Beib?
***
Lebakwana, Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H