Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pintu yang Kemarin Kubuka

18 Agustus 2021   23:43 Diperbarui: 18 Agustus 2021   23:51 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Gambar oleh Laura H. Rubin/ Artwoonz.com via Pinterest 

Takada sesiapa.                                      

Aku berharap ada kenangan yang tertinggal. Namun, hanya senyap yang menyergap. Masih kurasakan ruangan yang sedikit hangat. Mungkinkah ini sisa percikan bara yang kita letupkan beberapa waktu yang lalu. 

Maksudku bukan kita, tapi aku. 

Sebuah kecerobohan, atau mungkin juga kebodohan. Bila mengingatnya, kata maaf pun terasa konyol. 

Awal mengarungi hidup bersama, kita menggunakan perahu yang rapuh. Benar-benar mulai dari nol. Aku gamang, sebenarnya. Sedikit saja angin badai, perahu kita oleng. Pecah. 

Tapi kau menjadi sumber kekuatan bagiku. Tak kenal henti. Kesabaran, keikhlasan, juga dukungan semangat darimu. 

Dan karirku menanjak. Aku dipindahkan ke kantor pusat. Tentu ada perubahan. Rumah yang bagus, kendaraan, juga gaya hidup. 

Kita -- lebih tepatnya aku -- mengalami gegar sosial. Aku belum siap dengan perubahan gaya hidup yang begitu cepat. 

Lalu aku berkenalan dengan dunia malam. Tentu juga Katy, May, Melati, Mawar, Bunga, dan nama-nama yang bisa membuat perutmu muntah. 

Dan Katy, dia. Beda. 

Aku mabuk. 

Tanpa kusadari sebenarnya aku mulai memercikkan api. Merambat. Di rumah, setiap berhadapan denganku, tubuhmu seperti bergetar. Seperti menahan ledakan amarah. 

"Aku tahu parfummu, dan aku tahu aroma parfumku. Tapi aku mencium aroma parfum lain di tubuhmu," katamu pada suatu ketika. 

Seharusnya aku merasa khawatir, karena selama ini kau tak pernah menunjukkan rasa curiga. Aku malah tidak terima, menunjukkan kemarahanku. 

Kulihat bibirmu bergetar, menahan suara dan tangismu. Dan ledakan itu sepertinya hanya menunggu waktu. 

Benar saja. Malam itu kau memberiku pilihan. Gila, apa? Aku masih mencintaimu, juga Kinanti, gadis kita. 

Kau takterima. Malam itu kau melesat dengan mobilmu. Membawa Kinanti, tentu. 

Seharusnya kucegah. Tapi, tidak! Aku masih yakin kau akan kembali. Kau memang kembali, lewat suara seorang polisi. Mobilmu melaju dengan kecepatan tinggi, menabrak sebuah pohon. Kau, Kinanti ...! 

***

Aku masih berharap itu hanya mimpi-mimpi buruk, halusinasi, atau mungkin aku sedang menonton sebuah film drama. Makanya aku sering membuka rumah kita. 

Seperti kemarin ini. Tapi hanya rasa sunyi yang menyergapku. 

Takada sesiapa. 

***

Lebakwana, Agustus 2021. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun