Tanpa kusadari sebenarnya aku mulai memercikkan api. Merambat. Di rumah, setiap berhadapan denganku, tubuhmu seperti bergetar. Seperti menahan ledakan amarah.Â
"Aku tahu parfummu, dan aku tahu aroma parfumku. Tapi aku mencium aroma parfum lain di tubuhmu," katamu pada suatu ketika.Â
Seharusnya aku merasa khawatir, karena selama ini kau tak pernah menunjukkan rasa curiga. Aku malah tidak terima, menunjukkan kemarahanku.Â
Kulihat bibirmu bergetar, menahan suara dan tangismu. Dan ledakan itu sepertinya hanya menunggu waktu.Â
Benar saja. Malam itu kau memberiku pilihan. Gila, apa? Aku masih mencintaimu, juga Kinanti, gadis kita.Â
Kau takterima. Malam itu kau melesat dengan mobilmu. Membawa Kinanti, tentu.Â
Seharusnya kucegah. Tapi, tidak! Aku masih yakin kau akan kembali. Kau memang kembali, lewat suara seorang polisi. Mobilmu melaju dengan kecepatan tinggi, menabrak sebuah pohon. Kau, Kinanti ...!Â
***
Aku masih berharap itu hanya mimpi-mimpi buruk, halusinasi, atau mungkin aku sedang menonton sebuah film drama. Makanya aku sering membuka rumah kita.Â
Seperti kemarin ini. Tapi hanya rasa sunyi yang menyergapku.Â
Takada sesiapa.Â