Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ketika Kematian Semakin Akrab

2 Juli 2021   21:33 Diperbarui: 9 Juli 2021   00:42 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi.| Gambar oleh Geraldas 1/Depositphotos

Akhirnya memang tinggal cerita. Angka-angka di almanak membuka ingatan. 

Baru kemarin, rasanya. Kita sekamar, bercerita hingga larut malam. Atau dengan bus kota Mayasari Bakti 507 kita ke daerah Kramat Raya, nonton film midnight di Mulia Agung. Kemudian kita menggeleng-gelengkan kepala, melihat banyak perempuan terjangkit "wabah", memotong rambut ala Demi Moore. 

Atau membicarakan novel Musashi. Dan kau mencari Orang-orang Sicilia karya Mario Puzo. "Mau jadi mafia?" tanya penjaga toko buku. 

Kau tertawa menceritakan hal itu. 

Kemudian kita berpisah mengarungi hidup bersama keluarga masing-masing: kau ke Cikarang, aku ke Cilegon. 

Kita sesekali bertemu bila ada acara keluarga. Badanmu kini lebih berisi, dan, mm, perutmu agak membuncit. Berapa nomor celanamu sekarang? Tiga empat, jawabmu. 

Aku tertawa. Padahal, aku ingat, waktu kau bujang dulu nomer celanamu 27. Jaga makananmu, kataku waktu itu. Tapi kau memang tangka. Padahal napasmu terasa sesak kalau naik tangga satu lantai saja. 

Akhirnya kau menyerah. Saat dadamu sesak lagi kau pergi ke rumah sakit, dengan hanya ditemani Petugas Satpam tempatmu bekerja. Dan kau, menurut dokter, harus dioperasi segera. Ada saluran ke jantungmu tersumbat, hingga aliran darah terganggu. Dan itu harus dipasang ring.

Kau menceritakan itu begitu ringannya, seolah-olah kau sedang bercerita tentang film yang baru kautonton. 

***

Kini takada lagi almanak di dinding sebagai penanda. Perannya digantikan dengan hp. Meskipun begitu kita jarang berkomunikasi, bahkan untuk sekadar mengucapkan saling maaf di Hari Raya. 

Terlebih dalam suasana pandemi virus Corona seperti ini. Cilegon -- Cikarang terasa begitu jauh. Saat meninggalnya Uda Raf, salah seorang kerabat keluarga kita di Jakarta, kita pun tak bertemu. Aku datang saat pagi, sedangkan kau tiba sudah sore; aku sudah balik ke Cilegon. 

Esoknya kau meneleponku, menanyakan kabar. Itulah komunikasi terakhir denganmu. 

Ada semacam kegelisahan dalam keluarga kita, bila ada salah seorang dari keluarga kita yang meninggal. Biasanya tak berapa lama kemudian akan terdengar kabar kematian lagi, entah dari pihak keluarga dekat ataupun keluarga jauh. 

Benar saja. Bulan puasa yang lalu, Uni Eli yang tinggal di Prabumulih dikabarkan meninggal. Selang sebulan kemudian Uni Aban yang di Bukittinggi pun menyusul. 

Dan pagi tadi ada masuk video call dari anak gadismu. Suara gemerisik, dan gambar dirimu berbaring di ranjang rumah sakit. Tanganmu diikat dengan sobekan kain putih. 

"Pak Dang. Ayah ... Ayah alah mandahulu ...!" Ada suara tangisan tertahan. 

Aku merasakan suasana yang sangat sunyi, tiba-tiba. 

***

Lebakwana, Juli 2021. 

Catatan. 

Tangka (bahasa Minang) : Tak mau mendengar omong orang lain. 

Uda (bahasa Minang): Panggilan terhadap kakak lelaki, atau terhadap lelaki yang usianya lebih tua dari kita. 

Uni (bahasa Minang): Panggilan terhadap kakak perempuan, atau terhadap perempuan yang usianya lebih tua dari kita. 

Pak Dang/ Adang : Panggilan terhadap kakak laki-laki dari ayah kita. 

Alah mandahulu (bahasa Minang) : Sudah meninggal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun