Akhirnya memang tinggal cerita. Angka-angka di almanak membuka ingatan.Â
Baru kemarin, rasanya. Kita sekamar, bercerita hingga larut malam. Atau dengan bus kota Mayasari Bakti 507 kita ke daerah Kramat Raya, nonton film midnight di Mulia Agung. Kemudian kita menggeleng-gelengkan kepala, melihat banyak perempuan terjangkit "wabah", memotong rambut ala Demi Moore.Â
Atau membicarakan novel Musashi. Dan kau mencari Orang-orang Sicilia karya Mario Puzo. "Mau jadi mafia?" tanya penjaga toko buku.Â
Kau tertawa menceritakan hal itu.Â
Kemudian kita berpisah mengarungi hidup bersama keluarga masing-masing: kau ke Cikarang, aku ke Cilegon.Â
Kita sesekali bertemu bila ada acara keluarga. Badanmu kini lebih berisi, dan, mm, perutmu agak membuncit. Berapa nomor celanamu sekarang? Tiga empat, jawabmu.Â
Aku tertawa. Padahal, aku ingat, waktu kau bujang dulu nomer celanamu 27. Jaga makananmu, kataku waktu itu. Tapi kau memang tangka. Padahal napasmu terasa sesak kalau naik tangga satu lantai saja.Â
Akhirnya kau menyerah. Saat dadamu sesak lagi kau pergi ke rumah sakit, dengan hanya ditemani Petugas Satpam tempatmu bekerja. Dan kau, menurut dokter, harus dioperasi segera. Ada saluran ke jantungmu tersumbat, hingga aliran darah terganggu. Dan itu harus dipasang ring.
Kau menceritakan itu begitu ringannya, seolah-olah kau sedang bercerita tentang film yang baru kautonton.Â
***
Kini takada lagi almanak di dinding sebagai penanda. Perannya digantikan dengan hp. Meskipun begitu kita jarang berkomunikasi, bahkan untuk sekadar mengucapkan saling maaf di Hari Raya.Â