Kamu satuÂ
Kumulai dengan 'pada suatu hari'. Seperti memulai karangan pada waktu SD dahulu. Gambar matahari dengan sinar seperti rambut yang tegak, diapit dua segitiga gunung. Malu, tapi ada rasa bahagia saat bersama. Pada suatu hari aku merasakan debar yang pertamaÂ
Kamu dua
Sekali ini dibarengi rindu. Debar yang menghentak saat bertemu. Gelisah, malu, bibir hangat dan basah. Dalam mimpi yang ngiluÂ
Kamu tiga
Dan kini aku menjadi kedua bola matamu. Aku melihat pelangi, musik, film, puisi, akhir cerita yang indah dalam novel, tertawa, tarian, sinar dari lilin yang syahdu dalam sebuah pertemuan malam. Menghitung banyak rindu. Namun, takada diriku dalam kepalamu. Ini kali pertama aku merasakan patah hati. Ah, ternyataÂ
Kamu empatÂ
Pelajaran yang selalu kuingat: cinta itu butuh keberanian. Di hadapan mata bisa terasa sangat jauh. Sedang jarak yang jauh malah makin membuat angan-angan runtuh. Mencintai diam-diam ternyata membuat api di dada sulit sekali padam. Bukan, ini bukan nyerinya hati, tapi tentang indahnya sebuah patah hatiÂ
Kamu limaÂ
Jarak, waktu, cerita-cerita, biarlah penghias ingatan. Aku adalah aku yang sekarang, dan kamu adalah cerita bersama di masa depan. Dua buah hati  itu tandanya. Dalam berbiduk tentu ada pasang dan gelombang. Terhempas, hampir karam menghantam batu karang. Cinta, akhirnya mengalir juga pada tempatnyaÂ
Perempuan, engkau kah itu
***
Lebakwana, Mei 2021Â