Apa buku kesayangan saya saat masih anak-anak? Kalau dalam arti 'memiliki' saya tidak punya. Bahkan buku pelajaran pun tidak ada. Membeli buku  adalah suatu kemewahan bagi keluarga kami. Saya dulu, waktu SD, lebih banyak mencatat. Kalaupun ada itu adalah lungsuran (atau pinjaman) dari kakak kelas.Â
Dari buku-buku yang dipinjamkan itu, saya suka buku pelajaran Bahasa Indonesia SD. Bukan karena senang dengan pelajarannya, tapi saya suka di buku itu terselip cerita-cerita pendek, yang hingga kini saya masih mengingatnya. Cerita-cerita yang masih saya ingat itu antara lain: Anjing yang Loba, Surat Tantangan, dan Sehelai Daun Pisang. Saya juga sudah lupa di buku SD kelas berapa saja cerita itu terselip.Â
Anjing yang Loba menceritakan tentang anjing yang serakah (loba), yang telah mencuri sepotong dendeng. Anjing itu berlari dan melewati jembatan kecil, yang di bawahnya mengalir air yang jernih.Â
Saat melihat ke bawah, anjing itu terkejut karena melihat anjing lain sedang menggigit dendeng (anjing itu tidak tahu kalau itu bayangannya sendiri). Ia pun terjun ke air, bermaksud merebut dendeng itu. Tentu saja tidak ada. Dendeng yang dilihatnya terlepas, dan kini ia berusaha menyelamatkan diri dari arus air.Â
Sedang Surat Tantangan berkisah perseteruan anak Kampung "A" dengan Kampung "B" (saya tidak ingat nama kampung dalam cerita itu). Akhirnya anak-anak Kampung "A" membuat surat tantangan, diselipkan dekat kompleks pemakaman, yang juga perbatasan antara Kampung "A" dan Kampung "B".
Pada hari yang telah ditentukan anak-anak Kampung "A" pun menunggu kedatangan anak-anak Kampung "B". Sampai tengah hari tak satu pun anak-anak Kampung "B" yang muncul. Di puncak ketegangan muncul seseorang dari balik semak-semak.Â
Mereka terkejut. Orang itu adalah kepala sekolah mereka sendiri.Â
"Ayo, maju! Saya kan tinggal di Kampung 'B'!" seru kepala sekolah mereka.Â
Anak-anak Kampung "A" terdiam. Mereka tak menduga akan seperti ini. Ada rasa malu, juga takut. Akhirnya satu per satu mereka meninggalkan kompleks pemakaman itu.Â
Sehelai Daun Pisang adalah cerita lain yang saya ingat. Mengisahkan tentang seorang anak yang tempat tinggalnya dekat jalur rel kereta.Â
Suatu hari terjadi hujan lebat, demikian cerita itu. Tidak lama kemudian terdengar suara gemuruh yang sangat dahsyat. Anak itu terkejut, karena suara itu berasal dari bukit yang longsor dan menutupi rel kereta. Yang mengkhawatirkan lagi, sebentar lagi kereta api akan lewat.Â
Bersama ayahnya, anak itu di tengah hujan lebat berlari menyongsong dari mana arah kereta akan datang. Masing-masing hanya berpayungkan dengan sehelai daun pisang. Ketika dari kejauhan mereka melihat kereta muncul, dengan rasa cemas mereka melambai-lambaikan daun pisangnya. Bermaksud agar kereta api bisa berhenti.Â
Untunglah masinis kereta melihatnya. Walaupun merasa heran masinis itu menghentikan juga keretanya. Masinis kereta api sangat berterima kasih setelah diberi tahu kejadian sebenarnya. Anak dan bapak itu telah menyelamatkan kereta yang berisi banyak penumpang, yang kemungkinan bisa terjadi kecelakaan.Â
***
Dari cerita-cerita itu kemudian saya mulai membaca komik. Dari komik inilah saya tahu cerita-cerita karangan HC Andersen, juga cerita silat. Dan saya paling suka dengan komik silat.Â
Saya jadi tahu  tokoh-tokoh silat. Ada si Buta dari Goa Hantu (Ganes TH), Mandala - Siluman Sungai Ular (Man), Panji Tengkorak (Hans Jaladara), Parmin - Jaka Sembung (Djair), Bango Samparan (Jan Mintaraga), dan banyak lagi lainnya.Â
Cerita silat memang selalu dengan pakem yang sama. Kalau tidak memperebutkan pedang atau kitab sakti, tentu mengisahkan balas dendam. Sedikit dibumbui drama percintaan.Â
Cerita selalu hitam putih. Tetap ada pelajaran yang bisa dipetik, bahwa kejahatan selalu dikalahkan dengan kebaikan.Â
Apakah semuanya itu saya memilikinya? Tidak.Â
Saya menyewanya dari Taman Bacaan (tempat penyewaan komik, novel, dsb). Waktu itu (awal 70-an) jika membaca di tempat membayar Rp 5,00 (lima rupiah). Apabila  dibawa pulang sewanya Rp 10,00 (sepuluh rupiah).Â
Kebiasaan membaca berlanjut hingga membaca cerita-cerita yang tak bergambar. Seperti cerita silat Kho Ping Ho, novel, koran, majalah, dan apa pun jenis bacaan itu. Hingga kini.Â
Ternyata kebiasaan itu menjadi modal dasar yang sangat besar, ketika saya mulai mencoba menulis.Â
***
Lebakwana, Mei 2021Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H