Suatu hari terjadi hujan lebat, demikian cerita itu. Tidak lama kemudian terdengar suara gemuruh yang sangat dahsyat. Anak itu terkejut, karena suara itu berasal dari bukit yang longsor dan menutupi rel kereta. Yang mengkhawatirkan lagi, sebentar lagi kereta api akan lewat.Â
Bersama ayahnya, anak itu di tengah hujan lebat berlari menyongsong dari mana arah kereta akan datang. Masing-masing hanya berpayungkan dengan sehelai daun pisang. Ketika dari kejauhan mereka melihat kereta muncul, dengan rasa cemas mereka melambai-lambaikan daun pisangnya. Bermaksud agar kereta api bisa berhenti.Â
Untunglah masinis kereta melihatnya. Walaupun merasa heran masinis itu menghentikan juga keretanya. Masinis kereta api sangat berterima kasih setelah diberi tahu kejadian sebenarnya. Anak dan bapak itu telah menyelamatkan kereta yang berisi banyak penumpang, yang kemungkinan bisa terjadi kecelakaan.Â
***
Dari cerita-cerita itu kemudian saya mulai membaca komik. Dari komik inilah saya tahu cerita-cerita karangan HC Andersen, juga cerita silat. Dan saya paling suka dengan komik silat.Â
Saya jadi tahu  tokoh-tokoh silat. Ada si Buta dari Goa Hantu (Ganes TH), Mandala - Siluman Sungai Ular (Man), Panji Tengkorak (Hans Jaladara), Parmin - Jaka Sembung (Djair), Bango Samparan (Jan Mintaraga), dan banyak lagi lainnya.Â
Cerita silat memang selalu dengan pakem yang sama. Kalau tidak memperebutkan pedang atau kitab sakti, tentu mengisahkan balas dendam. Sedikit dibumbui drama percintaan.Â
Cerita selalu hitam putih. Tetap ada pelajaran yang bisa dipetik, bahwa kejahatan selalu dikalahkan dengan kebaikan.Â
Apakah semuanya itu saya memilikinya? Tidak.Â
Saya menyewanya dari Taman Bacaan (tempat penyewaan komik, novel, dsb). Waktu itu (awal 70-an) jika membaca di tempat membayar Rp 5,00 (lima rupiah). Apabila  dibawa pulang sewanya Rp 10,00 (sepuluh rupiah).Â
Kebiasaan membaca berlanjut hingga membaca cerita-cerita yang tak bergambar. Seperti cerita silat Kho Ping Ho, novel, koran, majalah, dan apa pun jenis bacaan itu. Hingga kini.Â