cerita ini. Di samping kejadian ini sudah cukup lama, juga aku tidak tahu, apakah cerita ini cukup menarik. Selain itu untuk menghargaimu, karena kamu sudah diberi 'kamar khusus' oleh Kompasiana.Â
Ri, sebenarnya aku agak malas menulisBegini, Ri. Waktu itu -- akhir 80-an -- aku masih remaja, dan sedang madu-madunya belajar menulis, dan dikirim ke berbagai media cetak. Ada yang dimuat, banyak yang ditolak, dan lebih banyak lagi nggak ketahuan nasibnya.Â
Saat dimuat, senangnya tuh di sini ( sentuh dadamu, Ri ). Nama kita terpampang, dan dapat honor. Rasanya aku sudah menjadi penulis hebat.Â
Honor dikirim biasanya setelah dua minggu naskah kita dimuat. Untuk yang  tinggal di Jakarta ( aku waktu itu tinggal di Jakarta, Ri ), honor bisa diambil langsung ke kantor redaksinya.Â
Pengalamanku saat naskah dimuat di Majalah Anita, Pos Kota, hari ini dimuat besok honor bisa diambil. Bahkan Majalah Anita, kalau kita nggak mengambil honor ke kantornya, dalam hitungan hari ( setelah naskah kita dimuat ), wesel sudah diterima, bersama 1 eksemplar nomer bukti. Dulu mengirim uang memang lewat wesel pos.Â
Tahu berapa honornya? Pos Kota membayar cerpenku lima belas ribu rupiah. Majalah Anita ada 'tingkatannya'. Kalau cerpen yang dimuat ilustrasinya hitam putih, honornya kisaran 30 sampai 40 ribu. Ilustrasinya berwarna, 60 sampai 80 ribu. Tapi kalau cerpen kita menjadi 'Cerita Sampul', honornya bisa menjadi 100 ribuan.Â
Ini angka akhir tahun 80-an, Ri. Sebagai gambaran, ongkos bus di Jakarta saat itu hanya Rp 50,00 ( lima puluh rupiah ). Celana jin merek Gufo ( waktu itu iklannya diperankan Franco Nero ) hanya sepuluh ribuan.Â
Nah, sekarang masuk ke inti judul.Â
Suatu ketika cerpenku dimuat di sebuah majalah hiburan. Aku nggak mau menyebutkan namanya. Yang bisa aku tulis, kantor redaksinya di bilangan Jakarta Pusat.Â
Sudah dua minggu wesel belum datang, aku langsung ke kantor redaksinya. Sambutan orang-orang bagian tata usaha cukup ramah.Â
Prosedurnya biasa, aku menandatangani surat tanda terima uang. Di sana tertulis Rp 20.000,00. Uang dimasukkan di dalam amplop.Â
Amplop nggak aku periksa dulu, Ri. Aku kan orang Indonesia, Ri. Kayak apa aja, amplop langsung dibuka. Malu.Â
Di tengah jalan, amplop aku buka. Samber gledek! Uang di dalam amplop cuma lima belas ribu. Aku yakin uang itu nggak jatuh. Mau balik lagi, apa mereka nanti percaya?Â
Aduh, Ri, gondok-nya tuh di sini ( sentuh dadamu lagi, Ri ). Tega-teganya orang majalah itu ngadalin remaja seperti aku. Aku pikir orang-orang yang bekerja di bidang pers itu makhluk-makhluk yang idealis, jujur. Nggak tahunya podho wae  dengan oknum birokrat pemerintah lainnya.Â
Sekarang majalah itu dan media yang satu grup dengannya sudah nggak kelihatan.Â
Itulah, Ri, sekelumit kisahku. Jangan bilang siapa-siapa, ya, Ri.Â
***
Lebakwana, Maret 2021.Â
Catatan.Â
Ngadalin = Bahasa slang Jakarta, yang berarti membohongi, menipu. Asal dari kata 'kadal'.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H