Jazz, seperti hari-hari yang lalu aku akan bercerita padamu. Walau aku tahu kau hanya diam saja, takkan berkomentar apa-apa. Tapi ada tempat tumpahan perasaanku, cukuplah.
Kautahu, ini soal Dex, lelaki yang lima tahun belakangan ini sering kuceritakan padamu. Salah, salah! Kau keliru kalau menyangka aku sedang rindu kepadanya.
Takada rindu untuk lelaki bangsat.
Namun, harus kuakui Dex-lah yang mengajarkan bagaimana dadaku bergemuruh, nafasku sesak, perutku seperti melilit kejang, juga rasa kesemutan di bawah perutku.
Dan, keinginan yang berulang-ulang.
Aku tak menyadari, Dex memandang diriku hanya untuk meluapkan naluri tualangnya. Saat perutku membesar, Dex menghilang. Apa bukan lelaki bangsat, namanya?
Marah, menangis, atau meraung? Takada gunanya. Aku juga sulit menafsirkan perasaanku, apakah aku harus sedih atau gembira saat kandunganku keguguran. Hanya ada rasa yang asing. Aku seperti terlempar ke sebuah tempat yang jauh. Hampa.
Dan Dex memang sialan.
Selain menumbuhkan rasa takpercaya kepada lelaki, Dex secara taklangsung mengajarkan tentang bagaimana caranya bertualang. Sebut saja BM, Kas, R, Al, N, S, Fd ..., ah, banyak. Semua lelaki itu menelanku, menikmatiku. Sebenarnya, aku juga.
Apa begitu, Jazz, semua lelaki yang memandang wanita, isi kepala mereka yang pertama adalah soal seks?