Nyatanya memang begitu.
Aku begitu lelah. Setiap hari, satu jam perjalanan ke pabrik, tempat kerjaku. Pabrik, ya, pabrik. Ah, Jazz, kaupikir tamat SMA dapat kerja di mana? Maka semuanya kunikmati saja.
Juga lagu-lagu dangdut. Setiap hari kuputar. Hanya lagu dangdut yang bisa menimbulkan perasaan riang gembira. Takpeduli apa tema lagunya.
Tapi kini aku merasa takut, was-was, mengingat usiaku mendekati lima puluh. Seringkali kesunyian menyergap tiba-tiba. Orangtuaku, juga saudara-saudara sekandung sudah lama meninggal. Aku sebatang kara.
Aku tidak tahu, apakah ada yang menangisiku saat aku meninggal nanti. Aku juga sedih, siapa yang memberi makanmu, Jazz, ketika aku sudah tiada lagi.
Aku teringat saat bertemu denganmu lima tahun yang lalu. Tubuhmu begitu kurus. Kauberteduh di sebuah ruko saat hujan lebat. Aku juga berteduh di situ, waktu pulang dari pabrik.
Kubawa kau ke rumah, kubersihkan tubuhmu; kau begitu lahap saat kuberi makan. Kini tubuhmu terlihat bersih, berisi.
Sejak kehadiranmu, aku ada tempat untuk bercerita. Kau tidak bosan kan, Jazz, mendengar cerita-ceritaku? Aduh, maaf, sore tadi sepulang dari pabrik aku lupa mampir ke Pet Shop, membeli makanan kesukaanmu. Kuharap kau tidak marah. Jazz, kamu memang kucing yang lucu.
***
Lebakwana, Februari 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H