Jazz, seperti hari-hari yang lalu aku akan bercerita padamu. Walau aku tahu kau hanya diam saja, takkan berkomentar apa-apa. Tapi ada tempat tumpahan perasaanku, cukuplah.
Kautahu, ini soal Dex, lelaki yang lima tahun belakangan ini sering kuceritakan padamu. Salah, salah! Kau keliru kalau menyangka aku sedang rindu kepadanya.
Takada rindu untuk lelaki bangsat.
Namun, harus kuakui Dex-lah yang mengajarkan bagaimana dadaku bergemuruh, nafasku sesak, perutku seperti melilit kejang, juga rasa kesemutan di bawah perutku.
Dan, keinginan yang berulang-ulang.
Aku tak menyadari, Dex memandang diriku hanya untuk meluapkan naluri tualangnya. Saat perutku membesar, Dex menghilang. Apa bukan lelaki bangsat, namanya?
Marah, menangis, atau meraung? Takada gunanya. Aku juga sulit menafsirkan perasaanku, apakah aku harus sedih atau gembira saat kandunganku keguguran. Hanya ada rasa yang asing. Aku seperti terlempar ke sebuah tempat yang jauh. Hampa.
Dan Dex memang sialan.
Selain menumbuhkan rasa takpercaya kepada lelaki, Dex secara taklangsung mengajarkan tentang bagaimana caranya bertualang. Sebut saja BM, Kas, R, Al, N, S, Fd ..., ah, banyak. Semua lelaki itu menelanku, menikmatiku. Sebenarnya, aku juga.
Apa begitu, Jazz, semua lelaki yang memandang wanita, isi kepala mereka yang pertama adalah soal seks?
Nyatanya memang begitu.
Aku begitu lelah. Setiap hari, satu jam perjalanan ke pabrik, tempat kerjaku. Pabrik, ya, pabrik. Ah, Jazz, kaupikir tamat SMA dapat kerja di mana? Maka semuanya kunikmati saja.
Juga lagu-lagu dangdut. Setiap hari kuputar. Hanya lagu dangdut yang bisa menimbulkan perasaan riang gembira. Takpeduli apa tema lagunya.
Tapi kini aku merasa takut, was-was, mengingat usiaku mendekati lima puluh. Seringkali kesunyian menyergap tiba-tiba. Orangtuaku, juga saudara-saudara sekandung sudah lama meninggal. Aku sebatang kara.
Aku tidak tahu, apakah ada yang menangisiku saat aku meninggal nanti. Aku juga sedih, siapa yang memberi makanmu, Jazz, ketika aku sudah tiada lagi.
Aku teringat saat bertemu denganmu lima tahun yang lalu. Tubuhmu begitu kurus. Kauberteduh di sebuah ruko saat hujan lebat. Aku juga berteduh di situ, waktu pulang dari pabrik.
Kubawa kau ke rumah, kubersihkan tubuhmu; kau begitu lahap saat kuberi makan. Kini tubuhmu terlihat bersih, berisi.
Sejak kehadiranmu, aku ada tempat untuk bercerita. Kau tidak bosan kan, Jazz, mendengar cerita-ceritaku? Aduh, maaf, sore tadi sepulang dari pabrik aku lupa mampir ke Pet Shop, membeli makanan kesukaanmu. Kuharap kau tidak marah. Jazz, kamu memang kucing yang lucu.
***
Lebakwana, Februari 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H