Jelita, demikian nama gadis cantik itu, tiba-tiba saja ingin menunggu kekasihnya di tepi hutan. Kekasih yang Takpernah ditemuinya, tak sekalipun pernah berbincang. Tapi kekasihnya itu selalu mengunjunginya, dalam mimpi-mimpi di setiap tidur Jelita.Â
Dia -- cerita Jelita -- seorang pemuda tampan. Pemuda itu mungkin seorang keturunan bangsawan. Atau barangkali juga seorang pangeran dari sebuah kerajaan. Dalam mimpinya Jelita bertemu dengan pemuda itu di sebuah taman yang indah. Mereka saling jatuh cinta. Pemuda itu berjanji akan menjemput Jelita, pada suatu hari nanti.Â
Dan mimpi itu berulang-ulang. Dan Jelita meyakininya. Dan ia pun menunggunya, di tepi hutan. Seperti janji yang diucapkan dalam mimpinya.Â
"Ia menunggang kuda putih," jelas JelitaÂ
"Ia datang dari arah matahari terbenam," Jelita bercerita lagi di hari lain.Â
Penduduk desa gempar. Orangtua Jelita gusar. Lalu, tentu saja, beragam komentar.Â
"Aneh!"
"Gila! Hari ini masih percaya dengan mimpi?"
"Apa ia sedang patah hati?"
"Takmungkin!"
"Apa ...?!"
Orangtuanya menangis-nangis membujuknya. Pun orang-orang sekampung. Jelita bergeming. Akhirnya mereka melakukan sedikit kekerasan, memaksa membawa pulang Jelita. Tapi dalam suatu kesempatan Jelita dapat meloloskan diri, dan kembali ke hutan.Â
Karena berulang kali, penduduk desa tak memperdulikan lagi. Orangtuanya pun pasrah. Dengan kesedihan yang luar biasa, orangtuanya sudah menganggap Jelita sebagai anak hilang.Â
Jelita sendiri, di tepi hutan itu, tinggal di sebuah goa untuk tempat bernaungnya dari hujan dan panas. Awalnya ia memang takut dengan binatang-binatang penghuni hutan, tapi kemudian Jelita bisa akrab dengan mereka. Dan kini seolah-olah mereka melindungi Jelita. Setiap hari, orangutan, monyet, menaruh buah-buahan di pintu goa.Â
Setiap senja Jelita menatap ke arah matahari terbenam. Bersandar pada sebuah batu besar ia menunggu kekasihnya, yang ia yakini akan menjemputnya. Seorang pemuda tampan menunggang kuda putih.Â
Bertahun-tahun lamanya.Â
Sampai suatu senja. Jelita merasa hidupnya taklama lagi. Ia bersandar di batu tempat biasa ia menunggu kekasihnya. Hewan-hewan yang biasa menemaninya selama ini mengelilinginya. Mereka seperti merasakan, sebentar lagi Jelita akan meninggalkan mereka.Â
"Aku mohon pada kalian, jaga tubuhku hingga nanti kekasihku datang," kata Jelita, menatap ke arah hewan-hewan yang mengelilinginya, seperti yakin hewan-hewan itu mengerti apa yang ia ucapkan. Selesai berkata begitu kepala Jelita tertunduk lunglai.Â
Hewan-hewan yang mengelilinginya langsung menjerit-jerit, bersahut-sahutan, menimbulkan gemuruh seisi hutan. Hari itu seisi hutan diliputi kesedihan.Â
***
Kisah Jelita kemudian diceritakan turun-temurun, dari generasi ke generasi. Menjadi dongeng, menjadi legenda, sebagai perlambang kesetiaan cinta. Cerita pun ditambah-tambahi.Â
Entah di generasi ke berapa, cerita berakhir begini: "... Â Beberapa tahun setelah kematian Jelita, suatu senja dari arah matahari terbenam, ada siluet hitam bergerak cepat menuju ke arah batu, tempat di mana selama ini Jelita menunggu. Setelah dekat ternyata ia seorang lelaki paruh baya menunggang kuda putih. Masih terlihat gurat ketampanan di wajahnya. Pakaian dan kudanya terlihat penuh debu, seperti ia telah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Kemudian ia berjongkok di depan tubuh Jelita yang kini sudah menjadi tulang-belulang. Ia menangis, menciumi rangka Jelita. Menyesal kenapa ia terlambat menjemput. Lalu lelaki paruh baya itu membungkus tulang-belulang Jelita, melompat ke atas kuda. Membawa pergi, melesat cepat menuju ke arah matahari tenggelam, tempat ia datang tadi ...! "
Demikianlah.Â
***
Lebakwana, Januari 2021.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H