"Apa ...?!"
Orangtuanya menangis-nangis membujuknya. Pun orang-orang sekampung. Jelita bergeming. Akhirnya mereka melakukan sedikit kekerasan, memaksa membawa pulang Jelita. Tapi dalam suatu kesempatan Jelita dapat meloloskan diri, dan kembali ke hutan.Â
Karena berulang kali, penduduk desa tak memperdulikan lagi. Orangtuanya pun pasrah. Dengan kesedihan yang luar biasa, orangtuanya sudah menganggap Jelita sebagai anak hilang.Â
Jelita sendiri, di tepi hutan itu, tinggal di sebuah goa untuk tempat bernaungnya dari hujan dan panas. Awalnya ia memang takut dengan binatang-binatang penghuni hutan, tapi kemudian Jelita bisa akrab dengan mereka. Dan kini seolah-olah mereka melindungi Jelita. Setiap hari, orangutan, monyet, menaruh buah-buahan di pintu goa.Â
Setiap senja Jelita menatap ke arah matahari terbenam. Bersandar pada sebuah batu besar ia menunggu kekasihnya, yang ia yakini akan menjemputnya. Seorang pemuda tampan menunggang kuda putih.Â
Bertahun-tahun lamanya.Â
Sampai suatu senja. Jelita merasa hidupnya taklama lagi. Ia bersandar di batu tempat biasa ia menunggu kekasihnya. Hewan-hewan yang biasa menemaninya selama ini mengelilinginya. Mereka seperti merasakan, sebentar lagi Jelita akan meninggalkan mereka.Â
"Aku mohon pada kalian, jaga tubuhku hingga nanti kekasihku datang," kata Jelita, menatap ke arah hewan-hewan yang mengelilinginya, seperti yakin hewan-hewan itu mengerti apa yang ia ucapkan. Selesai berkata begitu kepala Jelita tertunduk lunglai.Â
Hewan-hewan yang mengelilinginya langsung menjerit-jerit, bersahut-sahutan, menimbulkan gemuruh seisi hutan. Hari itu seisi hutan diliputi kesedihan.Â
***
Kisah Jelita kemudian diceritakan turun-temurun, dari generasi ke generasi. Menjadi dongeng, menjadi legenda, sebagai perlambang kesetiaan cinta. Cerita pun ditambah-tambahi.Â