Cuaca lembab. Tentu ini bukan yang membuatmu bersedih tanpa sebab. Menyambut musim hujan, seharusnya kita sudah menyiapkan kopi, teh, gula; juga pisang, ubi. Aku membayangkan saat hujan sore kita nikmati hangat-hangat bersama anak-anak.Â
Tapi tungku kita seringkali dingin. Kita sering menahan segala ingin.Â
Kita memang sering duduk bersama. Tapi kita lebih sering bercakap-cakap dalam diam. Pikiran kita entah berada di mana. Padahal di hadapan kita televisi sedang menyala.Â
Anak-anak sepertinya cukup mengerti dengan keadaan kita. Mereka juga menahan keinginan mereka. Tapi sampai kapan?Â
Sebentar lagi kita memerlukan biaya yang tak sedikit. Si sulung akan memasuki SMA, sedang adiknya akan menduduki bangku SMP. Ditambah dengan keperluan lain. Sedikit banyaknya kita harus memegang uang.Â
Sedang diriku sudah tiga bulan ini menganggur, sejak pemutusan hubungan kerja dari tempat pabrikku dulu. Dalam suasana seperti ini akan sulit aku mencari lowongan kerja. Malah banyak perusahaan yang merumahkan karyawannya. Â Â Â Â
Sementara persediaan uang semakin sedikit. Kita harus bergerak cepat. Mungkin aku akan ngojek, atau melakukan apa yang dapat menghasilkan uang.Â
Kurasa kamu juga harus melakukan hal yang serupa. Mungkin mulai dengan berdagang kecil-kecilan di depan rumah; berjualan nasi uduk, misalnya.Â
Atau bekerja di rumah orang, sebagai buruh cuci. Kenapa harus gengsi? Kehidupan kita harus terus berjalan. Sedang perut tidak mengenal hari libur, bukan?Â
Musim hujan kali ini mungkin terasa lebih dingin.Â
***
Lebakwana, November 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H