Ingin kuceritakan padamu, lima hari lagi mungkin bulan menjadi purnama. Bulat penuh.Â
Aku tahu, bagimu, atau orang-orang yang terbiasa hidup di kota, bulan purnama bukanlah sesuatu yang menarik. Terlewat begitu saja, bahkan tak terpikirkan.Â
Lampu-lampu di jalan, permainan cahaya di pusat-pusat pertokoan, sinar temaram di taman kota, mungkin lebih menarik bagimu. Atau suasana kegelapan dalam bioskop, dan pancaran terang dari gambar yang bergerak yang dipantulkan layar, itu lebih menenggelamkan dirimu.Â
Atau kamu lebih asyik dengan gawaimu: berbalas chat, nonton video, atau main game. Atau tidur-tiduran saja.Â
Bulan? Kurasa tidak. Kalaupun ada kosakata bulan yang singgah dalam ingatanmu, barangkali berkaitan dengan gerhana. Itu pun kamu mendengar sambil lalu.Â
Tapi aku ingin bercerita soal bulan. Bulan purnama.Â
Bulan purnama adalah ingatan masa kecilku. Saat bulan mencapai purnama, kalian tahu, itu semacam 'surat izin' dari orang tua, agar kami bisa keluar rumah (kujelaskan juga, aliran listrik belum masuk ke desa kami).Â
Kami berlarian gembira, bernyanyi bersama, main petak-umpet, gobak-sodor, atau bercerita apa saja. Untuk anak perempuan bermain karet, yaitu karet gelang yang dijalin panjang, direntangkan dua orang anak, diputar-putar, di tengah seorang anak melompat-lompat menghindari jeratan karet. Semua itu hiburan yang luar biasa bagi kami anak-anak di desa.Â
Tentu ada masa-masa yang menjengkelkan, yaitu saat mendung mendadak tiba, kemudian gerimis. Kami berlarian pulang kembali ke rumah.Â
Dan musim hujan tiba. Tak ada alasan lagi agar kami bisa keluar malam.Â