Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepada Orang-orang Kota, Aku Ingin Bercerita tentang Bulan Purnama

27 Oktober 2020   01:25 Diperbarui: 27 Oktober 2020   02:03 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto oleh Alex Powell/ Pexels 

Ingin kuceritakan padamu, lima hari lagi mungkin bulan menjadi purnama. Bulat penuh. 

Aku tahu, bagimu, atau orang-orang yang terbiasa hidup di kota, bulan purnama bukanlah sesuatu yang menarik. Terlewat begitu saja, bahkan tak terpikirkan. 

Lampu-lampu di jalan, permainan cahaya di pusat-pusat pertokoan, sinar temaram di taman kota, mungkin lebih menarik bagimu. Atau suasana kegelapan dalam bioskop, dan pancaran terang dari gambar yang bergerak yang dipantulkan layar, itu lebih menenggelamkan dirimu. 

Atau kamu lebih asyik dengan gawaimu: berbalas chat, nonton video, atau main game. Atau tidur-tiduran saja. 

Bulan? Kurasa tidak. Kalaupun ada kosakata bulan yang singgah dalam ingatanmu, barangkali berkaitan dengan gerhana. Itu pun kamu mendengar sambil lalu. 

Tapi aku ingin bercerita soal bulan. Bulan purnama. 

Bulan purnama adalah ingatan masa kecilku. Saat bulan mencapai purnama, kalian tahu, itu semacam 'surat izin' dari orang tua, agar kami bisa keluar rumah (kujelaskan juga, aliran listrik belum masuk ke desa kami). 

Kami berlarian gembira, bernyanyi bersama, main petak-umpet, gobak-sodor, atau bercerita apa saja. Untuk anak perempuan bermain karet, yaitu karet gelang yang dijalin panjang, direntangkan dua orang anak, diputar-putar, di tengah seorang anak melompat-lompat menghindari jeratan karet. Semua itu hiburan yang luar biasa bagi kami anak-anak di desa. 

Tentu ada masa-masa yang menjengkelkan, yaitu saat mendung mendadak tiba, kemudian gerimis. Kami berlarian pulang kembali ke rumah. 

Dan musim hujan tiba. Tak ada alasan lagi agar kami bisa keluar malam. 

Kamu, kalian --orang-orang kota--  tentu tak pernah mengalami hal seperti itu. Atau itu malah terdengar asing bagimu. 

Tapi kini di desa pun mengalami hal yang sama. Pembangunan yang begitu pesat, listrik masuk desa, membuat anak-anak lebih asyik di rumah. Menonton TV, atau bermain gawai seperti dirimu, orang-orang kota. Bulan hanya dianggap aktivitas alam biasa saja. 

Juga para penulis puisi, pencipta lagu, dan para penutur kisah lainnya. Bulan tak lagi menjadi kata yang menarik menjadi bagian dari karya mereka. 

Ah, sudahlah. Maaf, cerita tak menarik ini mengganggu keasyikanmu. 

Malam ini cuaca begitu cerah. Bulan terlihat tiga per empat mendekati purnama; kurasa lima hari lagi. Aku melihat bayangan-bayangan aneh di permukaan bulan. Aku seperti melihat tubuh kecilku berlarian, tertawa, bernyanyi gembira bersama teman-temanku. 

Pernah pada suatu masa. Dulu. 

***

Lebakwana, Oktober 2020. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun