Â
Sudah kuputuskan di usia senjaku aku menyepi. Maka kubuat huma di kaki bukit, di tengah hutan, dengan pepohonan yang masih rapat, jarang terlihat manusia melintas.Â
Hampir setahun aku di sini. Untuk kebutuhan sehari-hari aku menanam bermacam-macam umbian, sayuran, sesekali menjala ikan.Â
Malam ini bulan purnama menyinari halaman humaku. Semakin terang dengan cahaya api unggun. Terlihat di sana Cantik - demikian aku memanggilnya - bersiap-siap dengan pakaian bidadarinya terbang ke kahyangan.Â
Cantik adalah salah satu bidadari yang bajunya kucuri, saat ia mandi-mandi di sebuah mata air, di pinggang bukit. Tentu ia tak bisa kembali ke kahyangan.Â
Kemudian ia menemani hari-hariku. Membuatkanku kopi, menemani memancing ikan, bersenda-gurau, bernyanyi, dan bercerita-cerita.Â
Tapi ada perasaan aneh menyelusup dadaku. Maka pada suatu malam kuceritakan baju yang kucuri itu. Aku minta maaf.Â
"Kenapa kau ceritakan?"
"Karena aku mulai mencintaimu."
Cantik tertawa, "Kalau cinta, seharusnya baju itu tetap kau sembunyikan?"Â
"Cinta itu memang butuh kegilaan, tapi juga memerlukan kejujuran."
***
Kini Cantik bersiap-siap untuk terbang. Aku berusaha untuk tersenyum, mengantar kepergiannya.Â
Tiba-tiba.Â
"Kenapa?" aku tertegun.Â
"Cinta bukan hanya kejujuran, tapi juga kegilaan."
Kemudian bidadari itu menerkam, dan melumat bibirku.Â
***
Cilegon, Maret 2020.Â
* ). Interpretasi secara ngawur dari legenda Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H