Selanjutnya, ini kamu harus tahu, novel kupenuhi dengan cerita-cerita tentang kita: Akan kutulis tentang diriku yang selalu menemanimu di perpustakaan, menunggumu di gerbang kampus saat pulang kuliah, atau perlu kutulis juga saat orangtuamu memarahiku, karena kita kemalaman pulang; padahal kita terjebak banjir saat hujan deras mengguyur kota.Â
Tentu ada sedikit pertengkaran. Kugambarkan kamu merajuk, karena aku terlambat menjemputmu untuk nonton film, yang memang film itu sudah lama kamu tunggu. Tiga hari kamu tidak menggubris pesan WA yang kukirim. Saat kutelepon orang lain yang menjawab, "Nomor yang Anda tuju tidak menjawab...!"Â
Bagaimana kalau dimasukkan pihak ketiga. Ada cewek lain yang menggodaku, atau kamu diganggu cowok sekampus. Tapi kalau kamu lebih tertarik pada dosenmu sendiri?Â
Ups, jangan!Â
Aku tidak akan menuliskan seperti itu. Ini memang cerita fiksi, tapi rasanya aku tak mungkin menuliskan seperti itu. Aku cemburu.Â
Cerita itu juga tak kan kutulis dengan gaya dongeng HC Andersen. Pemuda miskin dicintai perempuan kaya, atau sebaliknya. Biasa saja. Cerita mengalir dengan apa adanya. Seperti biasa yang kita jalani sehari-hari.Â
Menjelang akhir novel itu tentu ada cerita air mata. Tentang kesedihanmu. Apakah karena kamu dijodohkan secara paksa oleh orangtuamu? Bukan. Apakah salah satu dari kita menderita penyakit yang sulit disembuhkan? Tidak juga.Â
Cerita itu kutunda. Bukan karena kehabisan ide, atau aku disibukkan pekerjaan lain. Tapi tersebab laptopku tertumpah kopi. Saat ini sedang diperbaiki.Â
Tiga hari dari sekarang cerita akan kulanjutkan. Aku janji. ***
Cilegon, Februari 2020.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H