Pak Kardi dan orang-orang yang senasib dengan dirinya bukannya tak mengerti tentang haramnya meminjam uang dengan bunga, tapi lingkungan tak memedulikannya.Â
Sekadar meminjam uang lima puluh ribu untuk makan hari ini, kepada tetangga, kepada sanak famili, tak ada yang merasa kasihan. Bahkan sudah berkata-kata dengan merendahkan diri, istilahnya, lunak gigi daripada lidah. Ada ungkapan khas orang Minang: Badan sajo yang baransanak, pitieh kan indak - badan saja yang ada pertalian darah, tapi uang tak kenal sanak famili.Â
Dan Rentenir adalah dewa penolong. Mereka disikapi ambigu: Benci tapi rindu. Urusan meminjam pun tidak ribet. Tidak perlu KK, tidak perlu KTP, bahkan nama sekalipun. Para rentenir hanya mencatat, Ibu Pedagang Sayur, Bapak Pedagang Buah. Bagaimana pedagang sayur lebih dari satu? Para rentenir itu menulis, Ibu Pedagang Sayur yang Gemuk, yang Kurus, yang Berdagang dekat Kantor Pasar. Sesederhana itu.Â
Yang dipinjam pun tidak banyak. Kisaran seratus dua ratus ribu, atau lima ratus ribu, atau paling banyak satu juta rupiah. Dibayar tiap hari, dengan tenggang tiga puluh sampai empat puluh hari. Bunga 20 %.Â
Sepuluh hari pertama biasanya membayarnya cukup lancar, tapi hari berikutnya agak tersendat, beberapa hari kosong. Kalau terlalu sering tentu rentenir itu marah. Mereka bersuara keras, hingga sekelilingnya mendengar. Tentu saja si peminjam merasa malu. Akhirnya mereka meminjam ke rentenir lain untuk membayarnya. Tentu saja mereka mempunyai hutang baru lagi. Begitu terus berputar di tempat yang sama.Â
Bila sudah tak sanggup biasanya mereka menebalkan muka saat ditagih, atau menghindar. Tentu tak mungkin selalu menghindar. Ada saatnya mereka kepergok.Â
"Enak saja kau tak mau bayar. Waktu meminjam bermanis-manis kau menghadap. Saat ditagih kau menghilang-hilang. Kau pikir uang dibuat dari daun, hah?!"
Suara rentenir itu begitu keras. Sungguhpun keras, adakah menteri yang baru diangkat itu mendengar?Â
***
Cilegon, Oktober 2019.Â