Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jangan Ge-er, Pak Kardi Tak Peduli Siapa yang Terpilih Menjadi Menteri

24 Oktober 2019   16:39 Diperbarui: 24 Oktober 2019   16:50 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antara foto / Puspa Perwitasari. Gambar diambil dari detik.com

Siapa Pak Kardi? 

Tak perlu repot-repot mencari di mesin pencari. Kalaupun ditemukan nama Kardi, bukan itu  yang penulis maksud. Pak Kardi bukan siapa-siapa, dia hanya orang kebanyakan, orang yang masuk dalam kelompok marjinal. 

Dan nama Kardi bisa berubah menjadi nama siapa saja; bisa Parto, Yono, Dulah, atau siapa saja. Dan dia bisa menjadi nama-nama perempuan: Isah, Juju, Sri, atau terserah siapa saja. Mereka adalah yang berkecimpung dalam dunia kerja yang mengandalkan otot, seperti tukang ojek, pedagang kecil, pedagang kaki lima, buruh, kuli bangunan, pembantu rumah tangga, dan sebagainya. 

Pihak Kantor Kelurahan mencatat orang-orang seperti Pak Kardi adalah kelompok yang mendapatkan Kartu Sehat, Kartu Pintar, dan bermacam kartu gratis lainnya. Ahli Tata Kota mungkin menempatkan mereka sebagai orang-orang yang tinggal di kawasan kumuh (slum). Kantor Polsek mungkin mengindikasikan mereka sebagai kelompok yang berpotensi berbuat kriminal. Dan Kantor Statistik mengelompokkan orang-orang semacam Pak Kardi adalah kelompok yang hidup "di bawah garis kemiskinan".

Mereka tidak peduli dengan ingar-bingar susunan kabinet terbaru. Siapa menjadi menteri apa, mereka tak mengerti. Nama-nama seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, Menteri Keuangan, dan lainnya itu tentu mereka pernah mendengar. Tapi siapa yang menjabat, bukan urusan mereka. 

Gojek tahu. Nadiem Makarim, siapa dia? Jokowi? Yang menjadi Presiden itu, kan? 

Hidup mereka habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pergi pagi pulang petang, terkadang ditambah sampai malam hari. Tidak hutang saja sudah hebat namanya. Dalam setahun anak mereka tidak diperingati pihak sekolah karena telat membayar uang sekolah, itu suatu prestasi tersendiri. 

Pak Kardi selalu kita temui hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dia hidup di sekeliling kita, atau tetangga kita, atau orang terdekat kita, atau, bahkan mungkin pada suatu masa kita pernah menjadi "Pak Kardi". 

Atau barangkali, saat ini kitalah yang menjadi Pak Kardi. 

Pak Kardi tidak mengerti, apakah para menteri itu dari kalangan profesional atau dari partai, apakah harus berbaju putih atau mengenakan batik, duduk lesehan atau sambil berdiri. Pak Kardi tidak peduli. 

Pak Kardi peduli kalau pagi ini ia lolos dari hardikan rentenir , karena urusan utang-piutang. Riba? Haram? Maaf, kata-kata itu masukkan saja dalam kantong. 

Pak Kardi dan orang-orang yang senasib dengan dirinya bukannya tak mengerti tentang haramnya meminjam uang dengan bunga, tapi lingkungan tak memedulikannya. 

Sekadar meminjam uang lima puluh ribu untuk makan hari ini, kepada tetangga, kepada sanak famili, tak ada yang merasa kasihan. Bahkan sudah berkata-kata dengan merendahkan diri, istilahnya, lunak gigi daripada lidah. Ada ungkapan khas orang Minang: Badan sajo yang baransanak, pitieh kan indak - badan saja yang ada pertalian darah, tapi uang tak kenal sanak famili. 

Dan Rentenir adalah dewa penolong. Mereka disikapi ambigu: Benci tapi rindu. Urusan meminjam pun tidak ribet. Tidak perlu KK, tidak perlu KTP, bahkan nama sekalipun. Para rentenir hanya mencatat, Ibu Pedagang Sayur, Bapak Pedagang Buah. Bagaimana pedagang sayur lebih dari satu? Para rentenir itu menulis, Ibu Pedagang Sayur yang Gemuk, yang Kurus, yang Berdagang dekat Kantor Pasar. Sesederhana itu. 

Yang dipinjam pun tidak banyak. Kisaran seratus dua ratus ribu, atau lima ratus ribu, atau paling banyak satu juta rupiah. Dibayar tiap hari, dengan tenggang tiga puluh sampai empat puluh hari. Bunga 20 %. 

Sepuluh hari pertama biasanya membayarnya cukup lancar, tapi hari berikutnya agak tersendat, beberapa hari kosong. Kalau terlalu sering tentu rentenir itu marah. Mereka bersuara keras, hingga sekelilingnya mendengar. Tentu saja si peminjam merasa malu. Akhirnya mereka meminjam ke rentenir lain untuk membayarnya. Tentu saja mereka mempunyai hutang baru lagi. Begitu terus berputar di tempat yang sama. 

Bila sudah tak sanggup biasanya mereka menebalkan muka saat ditagih, atau menghindar. Tentu tak mungkin selalu menghindar. Ada saatnya mereka kepergok. 

"Enak saja kau tak mau bayar. Waktu meminjam bermanis-manis kau menghadap. Saat ditagih kau menghilang-hilang. Kau pikir uang dibuat dari daun, hah?!"

Suara rentenir itu begitu keras. Sungguhpun keras, adakah menteri yang baru diangkat itu mendengar? 

***

Cilegon, Oktober 2019. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun