Ini sudah yang ketujuh kali. Bayangkan!Â
Apakah aku lantas marah-marah dan memukul pedagang keliling ganteng itu? Ini tidak lucu. Atau melaporkan ke polisi? Lebih tidak lucu lagi. Lebih menjengkelkan lagi, istriku seperti merasa tak bersalah. Dan ujungnya menimbulkan pertengkaran.Â
Memang yang dibeli istriku dari pedagang keliling itu bukanlah barang-barang mahal. Masalahnya barang-barang yang dibeli itu tak terlalu dibutuhkan, bahkan barang yang lama masih bisa dipakai. Seperti panci, kuali, daster, dan banyak lagi lainnya. "Kasihan dengan pedagangnya," alasan istriku.Â
Kasihan sih boleh saja. Tapi kalau keseringan tentu menjengkelkan. Dan sudah tujuh kali, itu yang ketahuan. Sebelumnya mungkin lebih banyak lagi.Â
Sekali lagi, ini bukan soal harganya, bukan soal keberatan uang yang dikeluarkan, tapi barang-barang itu tak terpakai. Terus terang aku merasa tak nyaman. Ini menjadi pikiran, terbawa saat aku melakukan pekerjaan di kantor.Â
Aku merasa terteror. Ada baiknya pada Sidang Umum PBB tahun ini, agar diagendakan untuk membahas pedagang keliling ini sebagai teroris. Kalau tidak, entahlah. Jangan sampai gara-gara pedagang keliling itu, aku dan istriku terus-terusan bertengkar. Kalau aku dan istriku bercerai, PBB harus ikut bertanggung jawab.Â
***
Setelah kupikir-pikir, tak baik aku terlalu disibukkan dengan kelakuan pedagang keliling itu. Aku bisa senewen, stres! Dan lagi, itu memang sudah kerjaannya, bagaimana ia berusaha agar dagangannya laku. Tinggal bagaimana aku menasihati istriku saja. Tapi nanti bertengkar lagi. Tidak.Â
Tidak!Â
Cukup, aku tidak ingin ribut-ribut dengan istriku gara-gara hal sepele. Tapi di sisi lain aku tidak ingin pikiranku terganggu. Aku ingin damai. Tapi aku pernah mendengar ungkapan, ingin damai siapkan peperangan.Â
Peperangan? Bagaimana caranya?Â