Presiden memeluk hangat Surakyat. Kemudian dijamu makan, yang makanan itu belum pernah dilihat maupun dirasakan Surakyat. Dan, tentu, hadiah-hadiah dari Presiden. Surakyat merasa takjub dengan apa yang dialaminya. Ia yang hanya buruh tani, miskin, tinggal di desa, diperlakukan secara terhormat oleh seorang Presiden. Ah, dunia diizinkan untuk iri.Â
***
Mimpi itu berkali-kali diceritakan oleh Surakyat. Ia merasakan ini semacam wangsit - tanda-tanda - Â derajatnya akan terangkat naik. Nasibnya akan berubah. Bagaimana caranya, biar tangan Tuhan yang mengaturnya.Â
Orang-orang desa pun turut senang. Mereka merasakan keberkahan bukan hanya untuk Surakyat, tapi terimbas ke seluruh desa. Makanya mereka sering ke rumah Surakyat, untuk mendengarkan mimpi-mimpi yang dialami Surakyat. Berkali-kali, dan berkali-kali pula mereka tak bosan. Bagi penduduk desa ada dua hal yang dapat membuat mereka melupakan kepedihan hidup: satu lagu dangdut, keduanya cerita-cerita irrasional seperti ini. Heh, jangan tertawakan. Tidak semua orang bisa bermimpi bertemu Presiden.Â
Tidak halnya dengan Lurah Slamet.Â
Pak Lurah Slamet menilai ini cerita yang mengada-ada. Surakyat harus diberi cermin, agar ia tahu siapa dirinya. Buruh tani, aduh, buruh tani. Masa iya sih bertemu Presiden, walau itu hanya dalam mimpi. Bahkan kalau Surakyat bermimpi bertemu dengan dirinya sebagai lurah, Lurah Slamet nggak sudi. Huh, nggak level!Â
Lurah Slamet menduga jangan-jangan, ya, jangan-jangan Surakyat sudah terpapar paham radikal. Presiden, ini nama Presiden. Jangan main-main! Lurah Slamet menciumnya ada bau-bau perlawanan. Makar?Â
Ini tak dapat dibiarkan!Â
Lurah Slamet tak ingin kecolongan, ia tak ingin ditegur oleh Bapak Camat, atasannya. Selain itu, kapan lagi, ia menunjukkan dedikasinya. Hm, sudah lama ia mengincar posisi wakil camat. Ini peristiwa besar. Ini kesempatannya
Tak perlu menunggu waktu yang lama Surakyat sudah melapor ke Pak Camat. Tentu cerita itu sudah ditambah-tambahi. Pak Camat ternyata satu pemikiran dengan Lurah Slamet. "Panggil Surakyat!" perintah Pak Camat.Â
Surakyat bertanya-tanya dalam hati, ada apa ini?Â
"Begini, Pak Surakyat...," suara Pak Camat terdengar wibawa.Â
"Saya, Pak," suara Surakyat bergetar, agak takut.Â
"Saya mendengar laporan dari Lurah Slamet, bahwa Saudara telah membuat kekacauan di desa...!"
"Saya, Pak. Saya tak mengerti maksud Pak Camat."
"Saudara jangan berpura-pura. Cerita ini sudah menyebar. Saya tidak ingin di wilayah saya ada gejolak macam-macam. Jangan bawa-bawa nama presiden."
"Saya, Pak. Tapi itu cuma mimpi.... "
"Saudara mau membantah?! Mau melawan pejabat?"Â
"Saya, Pak. Saya tidak berani," Surakyat menunduk.
"Makanya..., makanya Saudara kalau mau bertindak sesuatu itu, ngaca. Ngaca!"
Surakyat hanya diam.Â
"Mikir, mikir! Masak buruh tani mimpi bertemu Presiden. Saya saja jadi camat sudah belasan tahun belum pernah mimpi bertemu Presiden. Kalau sampeyan mimpi digigit ular, kecebur kali, atau digertak rentenir, itu baru cocok. Ini..., sudah sana pulang. Jangan cerita yang aneh-aneh lagi. "
***
Tapi, tidak.Â
Pemanggilan Surakyat oleh Pak Camat, justru cerita makin meluas. Orang-orang penasaran ingin tahu. Cerita mengalir ke kabupaten, kemudian menembus provinsi.Â
Gubernur tak nyaman, ia memarahi Bupati. Bupati gusar, ia menunjuk-nunjuk Camat. Camat meradang, ia menggebrak meja di hadapan Lurah Slamet. Lurah Slamet pun bertolak pinggang seraya membaca daftar nama-nama binatang di hadapan Surakyat.Â
"Menyebar! Cerita sudah menyebar, seluruh provinsi sudah tahu. Ini gara-gara sampeyan."
"Saya, Pak. Kalau Pak Lurah nggak nglapor ke Pak Camat, mungkin...!"
"Berani sampeyan membantah pejabat negara, hah?!"
Surakyat tak berani mengangkat mukanya.Â
"Mulai sekarang jangan cerita-cerita lagi soal mimpi itu. Cabut cerita itu. Bilang ke seluruh penduduk desa, bahwa mimpi itu tidak ada, tidak pernah ada! Mengerti sampeyan?"
"Saya, Pak."
***
Mencabut cerita mimpi itu? Huh!Â
Cuma ini yang bisa dibanggakan Surakyat, walau hanya sebuah mimpi. Dan ia disuruh tak mengakui mimpi itu. Aneh. Lebih aneh lagi Lurah Slamet. Tapi istri Surakyat malah cemas.Â
"Sudahlah, Pakne, turuti saja omongan Lurah Slamet. Kayaknya dia nggak main-main. Aku takut."
"Mana bisa. Ini anugerah terbesar, sebuah wangsit, bahwa nasib kita akan berubah. Nasib kita akan berubah, Bukne!"
*** Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Dan yang dikhawatirkan istri Surakyat pun terjadi. Pada suatu malam Surakyat dijemput tiga orang berpakaian seragam. Orang-orang itu membawa kertas-kertas, barang-barang, ataupun yang kira-kira dapat dicurigai. Surakyat dibawa ke suatu tempat yang asing, selain itu, memang, mata Surakyat ditutup. Ketika penutup matanya dibuka, Surakyat mendapati dirinya sudah dalam ruangan, dikelilingi orang-orang berseragam dan berbadan tegap.Â
Surakyat bingung, gugup, juga takut.Â
"Jadi sampeyan mau berbuat makar?"
"Makar itu apa tho, Pak?" Surakyat tak mengerti, dan sebenarnya ia memang tak mengerti.Â
"Pemberontak! Sampeyan mau jadi pemberontak, hah?!"
Surakyat bingung.Â
"Apa mau jadi teroris?"
Makin bingung.Â
"Ini buktinya," orang itu menyodorkan robekan sebuah koran.Â
Surakyat makin tak mengerti. Potong koran ada menampilkan kepala berita, "Seorang Teroris Ditangkap!"Â
"Ini kami temukan di dinding rumah sampeyan. Ayo ngaku, sampeyan kan terinspirasi mau jadi teroris? Kalau nggak, kenapa ditempel di dinding?"
"Itu..., itu untuk menutupi dinding rumah saya yang bolong-bolong, Pak."
"Jangan cari alasan macam-macam. Coba sekarang bilang, sampeyan masuk jaringan mana?"
"Saya, Pak. Sumpah Pak, saya nggak punya jaring. Tukijan yang punya, seminggu lalu sudah saya pulangkan."
Orang-orang itu pun hilang sabar.Â
Entah siapa yang memulai, Surakyat dipukuli. Satu, dua, kemudian beramai-ramai. Surakyat melolong-lolong kesakitan, meminta-minta ampun.Â
***
Surakyat merasakan tubuhnya masih terasa sakit-sakit. Di beberapa bagian masih terlihat memar.Â
"Ini gara-gara Lurah Slamet, gara-gara Lurah Slamet. Saya nggak terima. Kalau dia nggak nglapor ke Pak Camat, tentu kejadiannya nggak seperti ini."
"Sudahlah, Pakne," istri Surakyat menyabarkan.Â
"Nggak bisa."
"Jadinya, maunya Pakne apa, toh?"
"Saya mau berdoa ke Gusti Allah, supaya saya bermimpi bertemu lagi dengan Presiden."
"Tobat, tobat...! Eling, eling Pakne. Sadar. Sadar kita ini siapa?" istri Surakyat cemas.Â
"Bukan begitu, Bukne. Kita sekarang ini sedang teraniaya. Tuhan mengabulkan doa orang yang teraniaya."
Dan nyatanya malam itu Surakyat benar-benar bermimpi. Bukan bertemu Presiden, tapi dalam mimpinya Surakyatnya sendiri yang jadi Presiden.Â
Hal pertama yang dilakukan Presiden Surakyat, adalah menelepon Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Dalam Negeri menelepon Gubernur, dan Gubernur menelepon Bupati, dan Bupati menelepon Camat.Â
Perintah: PECAT LURAH SLAMET!Â
***
Cilegon, 2019.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H