Mendadak saja orang-orang yang duduk melingkar itu disergap kesunyian. Mereka mengembara dengan pikiran masing-masing. Seperti tak percaya Pak Dulah tidak lagi bersama-sama mereka. Malam ini adalah hari ketujuh, hari terakhir, untuk acara tahlilan di rumah Pak Dulah.Â
Kemudian satu per satu orang-orang meninggalkan rumah itu; Pak Slamet yang terakhir. Ia menenteng dua bungkusan makanan. Untuk acara-acara seperti ini, Pak Slamet tampak seperti orang yang paling sibuk. Ia selalu tampil paling depan.Â
Belum dua puluh hari setelah kematian Pak Dulah, orang-orang kembali dikejutkan dengan matinya Roni - Â preman yang sering meresahkan warga - karena minuman oplosan. Soal ini warga malah bersyukur.
Tapi kemudian Sri, anak Pak Juned, karena demam berdarah.Â
Bu Ningsih, karena usia tua.Â
Yudi, kecelakaan motor.Â
Dan, jelang magrib ini orang-orang disentakkan dengan kabar meninggalnya Pak Burhan. Mendadak saja. Istrinya yang pertama mengetahui. Pak Burhan diketahui duduk lunglai di kursinya saat menonton televisi.Â
Dihitung-hitung selama tiga bulan ini sudah ada enam warga yang meninggal. Kembali terlihat Pak Slamet seperti orang paling sibuk. Ada saja yang dikerjakannya. Menyiapkan untuk pemandian jenazah, ikut membantu menggali kuburan, dan dia juga yang memanggil warga untuk acara doa tahlilan pada malam harinya. Dan, tentu, ia paling tidak membawa dua kantong makanan.Â
Biasa saja sebenarnya, karena dari dulu memang Pak Slamet tak mempunyai pekerjaan tetap. Dan ia tak berpantang, mau saja apabila disuruh salah seorang warga dengan upah sekadarnya.Â
Tapi kemudian, entah siapa yang memulai, orang-orang berbisik-bisik membicarakan Pak Slamet.Â
"Coba lihat tingkah Pak Slamet."