Lalu tiba-tiba Pak Ganjar beraksi di sebuah jembatan timbang malam-malam, memergoki dan memarahi secara “live”. Bukankah itu seperti marah kita diwakili olehnya?
Kita sudah terlalu lama merasa tidak ada yang mewakili, padahal pemilihan wakil dan pejabat sudah sangat sering. Alih-alih diwakili, kita sudah lama berada dalam posisi mewakili kesusahan mereka (pejabat tidak perlu macet, tidak perlu antri, tidak perlu repot … semua kita wakili).
Begitulah, Pak Ganjar di Jateng, Pak Ahok di DKI, atau juga Bu Risma di Surabaya, aksi marah-memarahi anak buahnya bagi kita seperti mewakili marahnya kita sejak lama melihat berbagai ketidakberesan. Padahal yang kemarin dimarahi itu (melalui pajak yang kita bayar) seharusnya mampu membereskan banyak hal untuk kemudahan masyarakat.
Saya sendiri yakin, siapapun tidak akan berani menegur orang lain kalau ia sendiri terlibat dalam persekongkolan. Itulah kenapa, misalnya, seorang Kepala Dinas kok susah amat menegur anak buahnya agar tidak main suap, karena ia sendiri menerima suap.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H