Aku mengaduk kopi dalam gelas yang ditinggalkanya di tanganku. Bubuk hitam timbul tenggelam dalam air kecoklatan, dihempas sendok teh, dia berputar, terpilin, berpilin..
---
Mendatangiku, si emak mengacungkan delapan ribu rupiah di tangannya. “Makasih ya pak, mas.”
“Makasih kembali, Mak.” Kuterima uang itu, memberikan sendok pengaduk padanya, lalu melangkah menuju gerbang Gambir.
---
Jakarta masih pagi.
Gambir masih pagi.
Monas masih pagi.
---
Aku tak tahu harus memulai lamunanku darimana. Mungkin masalah etos, atau keteguhan batin, atau keyakinan pada yang maha transenden. Atau mungkin nanti di kerindangan bintaro[3] kutemukan lamunan lain.
---