Mohon tunggu...
mardian wibowo
mardian wibowo Mohon Tunggu... -

pegawai negeri sipil di jakarta, dengan satu istri dan satu balita..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masa Depan dan Segelas Kopi (3): Etos

27 September 2016   14:31 Diperbarui: 27 September 2016   14:35 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

---

Nun, di ujung sana, setelah keluasan lapang parkir yang diselimuti mendung, si emak menyeduh kopinya. Aku berharap itu bukan pembelinya yang pertama, meskipun kukira harapanku terlalu berlebihan..

Max baren’s, sepatuku, menapak paving stone lapang parkir, berhenti selangkah di depan si emak. “Kopi susunya ada, mak?”

“Ada,” sambil dipilahnya beberapa sachet kopi beraneka jenis, mulai yang hitam murni, special mix, mocca, dan beberapa lainnya.

Berjongkok, satu dipilih, yang bertuliskan kopi susu. Lalu tangkas diambilnya gunting. “Mau sambil dibawa jalan ya?,” sambil dituangkannya isi sachet ke dalam gelas plastik. Mungkin emak ingat kopi darinya kemarin kubawa jalan.

“Iya mak, buat penghangat sambil jalan.”

Sepertiga air panas sudah tertuang, kemudian sendok teh bergagang panjang diambilnya dari wadah yang lain. Adukannya terhenti pada beberapa putaran, bahkan bubuk kopinya belum sempurna tercampur. Menatapku, lebih tepatnya menatap tanganku. “Yang pas saja, mas. Dua ribu. Emak gak ada kembaliannya.”

Rupanya emak melihat lembar puluhan ribu yang kutarik dari kantong M.Gee[2]. Lembaran bergambar Mahmud Badaruddin II itu memang satu-satunya yang tertinggal di kantongku.

“Gak ada, Mak.” Reflek kujawab demikian, meskipun sebenarnya dalam lipatan tas punggungku, beberapa lembar duaribuan selalu tersedia.

Kuingin mendesakkan suatu situasi pada transaksi kopi kami, yang kadang-kadang secara manipulatif dipaksakan oleh penjual kepada pembeli, yakni tidak adanya kembalian sehingga pembeli terpaksa membeli lebih banyak dari yang semula diinginkannya. Saat ini kubalik, manipulasi ini bukan oleh si emak penjual, tapi olehku, si pembeli, dengan harapan berhasil kupaksakan solusi bahwa sisa uangnya tidak perlu dikembalikan. Pagi ini, nilai guna uang delapan ribu rupiah itu akan kutransfer tanpa syarat kepada emak kopi. Kukira ini sebuah etos, bersedekah tanpa harus si penerima melihatnya sebagai sebuah sedekah.

Waktu pernah mengajariku, bahwa sedekah yang terformulasikan dengan kata-kata lugas, maupun sedekah yang terinstitusionalisasikan secara ajeg periodik, kadang kontraproduktif dan membuat para penerimanya semakin miskin; miskin harta dan miskin harga diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun