---
Nun, di ujung sana, setelah keluasan lapang parkir yang diselimuti mendung, si emak menyeduh kopinya. Aku berharap itu bukan pembelinya yang pertama, meskipun kukira harapanku terlalu berlebihan..
Max baren’s, sepatuku, menapak paving stone lapang parkir, berhenti selangkah di depan si emak. “Kopi susunya ada, mak?”
“Ada,” sambil dipilahnya beberapa sachet kopi beraneka jenis, mulai yang hitam murni, special mix, mocca, dan beberapa lainnya.
Berjongkok, satu dipilih, yang bertuliskan kopi susu. Lalu tangkas diambilnya gunting. “Mau sambil dibawa jalan ya?,” sambil dituangkannya isi sachet ke dalam gelas plastik. Mungkin emak ingat kopi darinya kemarin kubawa jalan.
“Iya mak, buat penghangat sambil jalan.”
Sepertiga air panas sudah tertuang, kemudian sendok teh bergagang panjang diambilnya dari wadah yang lain. Adukannya terhenti pada beberapa putaran, bahkan bubuk kopinya belum sempurna tercampur. Menatapku, lebih tepatnya menatap tanganku. “Yang pas saja, mas. Dua ribu. Emak gak ada kembaliannya.”
Rupanya emak melihat lembar puluhan ribu yang kutarik dari kantong M.Gee[2]. Lembaran bergambar Mahmud Badaruddin II itu memang satu-satunya yang tertinggal di kantongku.
“Gak ada, Mak.” Reflek kujawab demikian, meskipun sebenarnya dalam lipatan tas punggungku, beberapa lembar duaribuan selalu tersedia.
Kuingin mendesakkan suatu situasi pada transaksi kopi kami, yang kadang-kadang secara manipulatif dipaksakan oleh penjual kepada pembeli, yakni tidak adanya kembalian sehingga pembeli terpaksa membeli lebih banyak dari yang semula diinginkannya. Saat ini kubalik, manipulasi ini bukan oleh si emak penjual, tapi olehku, si pembeli, dengan harapan berhasil kupaksakan solusi bahwa sisa uangnya tidak perlu dikembalikan. Pagi ini, nilai guna uang delapan ribu rupiah itu akan kutransfer tanpa syarat kepada emak kopi. Kukira ini sebuah etos, bersedekah tanpa harus si penerima melihatnya sebagai sebuah sedekah.
Waktu pernah mengajariku, bahwa sedekah yang terformulasikan dengan kata-kata lugas, maupun sedekah yang terinstitusionalisasikan secara ajeg periodik, kadang kontraproduktif dan membuat para penerimanya semakin miskin; miskin harta dan miskin harga diri.