Harus diakui gelas plastik memang bukan bandingan gelas, mug, dan tumbler keluaran café-café yang gerainya keren, adem, bersih, dan segar. Tapi kukira bukan itu masalahnya. Ini soal ideologi kopi. Menurutku, kopi dan semua komoditas, seharusnya memiliki kemampuan memberdayakan. Dan kopi tidak dapat melakukan pemberdayaan oleh dirinya sendiri. Para peminum lah yang menjadi kepanjangan tangan bagi kopi untuk melaksanakan tugas mulianya.
Kukira sudah waktunya kita mengalihkan diri dari café-café dan gerai-gerai waralaba yang telah menangguk untung besar dari berjualan kopi. Dan berganti membeli dari mamang-mamang pendorong gerobak minuman, ujang-ujang pembawa kopi sepeda, atau kalau di Gambir, tentu pada emak penjual kopi itu, maupun pada para koleganya yang setia mengais rejeki di keteduhan kolong jalur kereta.
--
Lamunanku terputus ketika untuk kesekian kalinya lift berhenti, dan Joel, si security berkumis a la Antonio Banderas di film Zorro, mengingatkanku, “lantai tujuh, Pak.”
Pintu lift membuka, aku menengok pada si Mai dan para kolega yang tersisa, melindungi gelas kopi dari desakan, sambil menyapa, “Mari semuanya..”.
Dingin air conditioner lantai tujuh menghembus. Hanya sebentar saja dia tertahan oleh jaket dan topi, sebelum menyentuh tengkuk. Brrr…, namun dingin adalah sebuah ironi, kehadirannya justru membuat segelas kopi di tanganku jadi lebih hangat.
--
Di muka pintu mbak Ina menyapa, “Wah, sudah sempat ngopi..”. Sapa si mbak membuka lagi lamunanku. Seandainya dua ratus saja dari ribuan penumpang yang setiap harinya masuk dan keluar Gambir, membeli kopi emak, maka secara ceteris paribus,[3] dalam sebulan isi kotak kayunya akan bertambah ragam barang dagangan; dalam beberapa bulan berikutnya dia akan bisa memiliki gerobak kecil yang lebih mobile; dan dalam setahun terhitung sejak hari ini besar kemungkinan emak akan memiliki sebuah kedai kopi kecil di deretan kantin Gambir. Lalu kopi akan membuatnya menjadi emak yang hidup berkecukupan..
“Heh, malah ngelamun..,” si mbak mengagetkanku. “Hehe, iya mbak..,” sambil melintas kujawab sekenanya, “Lagi mbayangin ideologi kopi..”
--pagidiharikelimabelasbulanmaretantaragambirmonaskantor--
[1] Pada tulisan terdahulu (Masa Depan dan Segelas Kopi 1) dia kusebut nenek. Tapi sepertinya lebih nyaman kalau dia kusebut emak. Orangnya masih sama.