Dia merasakan tepi tapak yang kasar di bawah sepatu botnya dan menguatkan dirinya. Dia mengangkat kakinya, dan dengan bunyi dentuman yang bergema di dinding bata bangunan, membantingnya tepat di tengah retakan. Alis si cenayang terangkat, lalu turun. Seekor tupai membeku di cabang pohon selama sedetik, lalu melanjutkan memanjat teras.
Rasa terebebas dari kungkungan melanda Tita, kecil dan rapuh seperti pohon muda yang membawa janji. Dia membayangkan menyingkirkan hantu dan monster yang erangannya memudar tertiup angin.
Apa yang akan menggantikan tempat mereka yang kosong?
Akhirnya ketegangan mereda, rahangnya mengendur dan senyum lebar tersungging di sudut matanya. Dia meraih ke dalam saku mantelnya dan mengeluarkan setumpuk kartu tarot. Dia menaiki tangga dan mengulurkan setumpuk kartu tarot ke cenayang pembaca garis telapak tangan.
"Aku ingin kamu memiliki ini. Ini buatan tangan. Milik ibuku, dan dia mendapatkannya dari neneknya."
Mata cenayang itu berbinar. Dia mengambil kartu-kartu itu dengan dua tangan gemetar dan memeriksanya dengan kagum.
"Kamu yakin, Sayang?" tanyanya.
Tita mengangguk. Tangannya meraih pegangan kayu, tetapi dia menjatuhkannya kembali ke sisi tubuhnya.
Sama sekali tidak perlu mengetuk kayu.
Cikarang, 1 Januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H