Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Resolusi Tahun Baru

1 Januari 2025   00:46 Diperbarui: 1 Januari 2025   00:46 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mitos itu sangat kuat. Mitos itu tumbuh berakar di tanah subur ketakutan akan kematian tanpa orang tua. Mitos itu masih menghantui Tita, membuat jantungnya berdebar kencang, membuat kakinya goyah, membuatnya berpikir dua kali ketika berdiri di depan retakan.

Bahkan kalau dia tidak bisa menginjak retakan, apakah mengherankan kalau dia telah melanggar tekadnya dan datang ke sini?

Dia mendongak. Sebuah tangan tak terlihat mengangkat tirai. Cahaya jingga muncul di jendela. Sang cenayang telah melihatnya. Dia tidak bisa mundur sekarang.

Angin bertiup kencang, menghantam punggungnya dan dinginnya mencapai tulang-tulangnya, seolah-olah mantelnya terbuat dari kertas. Sang cenayang dengan acuh tak acuh membuka pintu depan dan membiarkannya sedikit terbuka. Aroma jeruk dan cengkeh tercium keluar. Sedikit kehangatan yang nyaman. Intip bantal oriental dalam warna hangat merah tua dan magenta.

Seluruh dirinya ingin melompati anak tangga pertama yang tidak terawat dan berlari menaiki tangga menuju pelukan pembaca telapak tangan yang menenangkan, tetapi dia tidak melakukannya.

Di usia empat puluh, dia ingin melupakan semua takhayul: menahan napas saat melewati kuburan, mengetuk kayu saat sesuatu yang baik terjadi, dan meraih kartu tarot setiap kali masa depan menjadi tidak pasti. Dia sudah muak dengan semua itu. Ramalan yang menenangkan tetapi menariknya semakin jauh dari kenyataan.

Sang cenayang menjulurkan kepalanya keluar dari pintu, matanya waspada dan mencari-cari. Anting bulan sabitnya menangkap sinar terakhir matahari terbenam.

"Mau masuk, Sayang?" tanya sang cenayang, suaranya lembut berayun.

Tita membiarkan kakinya terkulai. Yang benar-benar dia inginkan adalah kontak dengan badai yang berantakan, kacau, dan nyata yang mengamuk dalam hidupnya. Dia ingin bisa merangkul ketidakpastian, untuk berkembang dalam detak jantung yang meningkat, napas yang cepat.

Dia tidak ingin meredakannya dengan kebohongan yang menenangkan lagi. Ini adalah kilometer pertama dalam perjalanan panjang yang telah dia janjikan pada dirinya sendiri untuk diselesaikan. Membongkar perancah tipis selangkah demi selangkah yang secara keliru menenangkannya.

Dia ingin melihat apa yang akan terjadi kalau dia berhasil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun