"Pakai gula?"
"Tidak, terima kasih."
Antrean untuk minum kopi yang panjang. Dia tenggelam dalam pikirannya. Jika ada yang bertanya apa yang sedang dipikirkannya, dia mungkin akan berkata, tidak ada yang khusus, meskipun sebenarnya dia sedang memikirkan semut.
Mereka muncul suatu pagi di dapur, bergerak dalam dua garis lurus ke arah yang berlawanan. Memanjat ke dalam mangkuk gula biru dan terhuyung-huyung turun ke sisi lain dengan membawa sebutir gula. Kekuatan tekad dan keuletan mereka yang luar biasa telah membuatnya terkesan.
"Aku juga punya semut," katanya kepada putrinya di telepon, "tetapi mereka tidak sama dengan semutmu."
"Bagaimana Mama tahu?"
"Yah, semut-semut ini punya kalung mutiara kecil. Mereka pasti semut Kasmir!"
Putrinya, hidup sebagai hippy dan bergaya alternatif di Bali, tertawa di ujung telepon yang lain.
"Apakah itu berarti semut Jl. Sudirman memakai kerah jas pada kemeja eksekutif mereka?"
Mereka tertawa lagi, hanya obrolan pagi yang biasa dan penuh canda, di hari yang biasa untuk berangkat kerja.
Jalur lalu lintas yang biasa di atas sungai yang tampak biasa, berkilauan di bawah pohon dedalu. Pagi hari kerja yang biasa, dan kemudian, hampir waktunya untuk makan siang yang biasa.
Apakah dia akan makan sushi yang biasa?
Lama kemudian, berkerumun dengan tetangga di lereng berumput, di depan rumah para tetangga, sementara debu dari bangunan kota yang runtuh berubah menjadi merah di ufuk langit barat.
Sementara tanah terus bergetar.
Dia bertanya-tanya tentang nasib para semut.
Cikarang, 4 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H