Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Semut

4 Desember 2024   11:11 Diperbarui: 4 Desember 2024   11:30 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

"Pakai gula?"

"Tidak, terima kasih."

Antrean untuk minum kopi yang panjang. Dia tenggelam dalam pikirannya. Jika ada yang bertanya apa yang sedang dipikirkannya, dia mungkin akan berkata, tidak ada yang khusus, meskipun sebenarnya dia sedang memikirkan semut.

Mereka muncul suatu pagi di dapur, bergerak dalam dua garis lurus ke arah yang berlawanan. Memanjat ke dalam mangkuk gula biru dan terhuyung-huyung turun ke sisi lain dengan membawa sebutir gula. Kekuatan tekad dan keuletan mereka yang luar biasa telah membuatnya terkesan.

"Aku juga punya semut," katanya kepada putrinya di telepon, "tetapi mereka tidak sama dengan semutmu."

"Bagaimana Mama tahu?"

"Yah, semut-semut ini punya kalung mutiara kecil. Mereka pasti semut Kasmir!"

Putrinya, hidup sebagai hippy dan bergaya alternatif di Bali, tertawa di ujung telepon yang lain.

"Apakah itu berarti semut Jl. Sudirman memakai kerah jas pada kemeja eksekutif mereka?"

Mereka tertawa lagi, hanya obrolan pagi yang biasa dan penuh canda, di hari yang biasa untuk berangkat kerja.

Jalur lalu lintas yang biasa di atas sungai yang tampak biasa, berkilauan di bawah pohon dedalu. Pagi hari kerja yang biasa, dan kemudian, hampir waktunya untuk makan siang yang biasa.

Apakah dia akan makan sushi yang biasa?

Lama kemudian, berkerumun dengan tetangga di lereng berumput, di depan rumah para tetangga, sementara debu dari bangunan kota yang runtuh berubah menjadi merah di ufuk langit barat.

Sementara tanah terus bergetar.

Dia bertanya-tanya tentang nasib para semut.

Cikarang, 4 Desember 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun