"Pakai gula?"
"Tidak, terima kasih."
Antrean untuk minum kopi yang panjang. Dia tenggelam dalam pikirannya. Jika ada yang bertanya apa yang sedang dipikirkannya, dia mungkin akan berkata, tidak ada yang khusus, meskipun sebenarnya dia sedang memikirkan semut.
Mereka muncul suatu pagi di dapur, bergerak dalam dua garis lurus ke arah yang berlawanan. Memanjat ke dalam mangkuk gula biru dan terhuyung-huyung turun ke sisi lain dengan membawa sebutir gula. Kekuatan tekad dan keuletan mereka yang luar biasa telah membuatnya terkesan.
"Aku juga punya semut," katanya kepada putrinya di telepon, "tetapi mereka tidak sama dengan semutmu."
"Bagaimana Mama tahu?"
"Yah, semut-semut ini punya kalung mutiara kecil. Mereka pasti semut Kasmir!"
Putrinya, hidup sebagai hippy dan bergaya alternatif di Bali, tertawa di ujung telepon yang lain.
"Apakah itu berarti semut Jl. Sudirman memakai kerah jas pada kemeja eksekutif mereka?"
Mereka tertawa lagi, hanya obrolan pagi yang biasa dan penuh canda, di hari yang biasa untuk berangkat kerja.