Hari ini mudik. Bunyi roda kereta api yang berirama meresap ke dalam jiwanya.
Lima tahun lalu, dia sangat ingin meninggalkan kota kecil itu. Sekarang tidak lagi. Kota kecil itu tidak punya tukang pukul atau geng yang menyuruhmu membawa tamborin tutup botol di lampu setopan.
Petir menyambar di pegunungan di depan, tetapi ketika dia akhirnya melompat turun ke peron, angin mulai mereda.
Kenangan menandai pendakian sejauh tiga lima kilometer. Di sini dia memetik buah manggis dari kebun Pak Tua Syauki. Di sana kakinya patah karena jatuh dari pohon sialan itu. Ibunya menungguinya di rumah sakit selama tujuh minggu.
Dia seharusnya mengirim surat kepada ibunya, tetapi semua orang tahu dia tidak bisa mengeja. Dan begitu dia ditangkap, apa yang bisa dia katakan?
Jalurnya menanjak, digali oleh alur air berlumpur, lalu terbuka. Dan ke arahnya datang segerombolan orang. Semuanya memegang barang-barang. Banyak yang babak belur dan luka-luka berdarah. Bibi Teti, tukang daging, perempuan jalang dari kolam pemijahan yang memergokinya mencuri ikan lele...
Ketika Pak Tua Syauki terhuyung-huyung lewat, dia meraih lengannya.
"Ada apa?"
"Banjir bandang," gumam lelaki tua itu. "Gunung longsor. Mengubur kota. Hanya sedikit dari kita yang selamat."
Bagaimana dengan ibunya?