Orang-orang menatapnya, sebagian dengan geli dan sebagian lainnya dengan sedikit rasa khawatir.
Kereta melaju menuju Bogor lewat Manggarai dan dia menarik napas, berkata pada dirinya sendiri untuk berhenti tertawa dan menenangkan diri.
Apa yang sebenarnya dia tertawakan?
Entah mengapa dia teringat Baim, lalu dia meraung lagi, membungkuk seperti sedang memuntahkan kegembiraan di gerbong kereta. Perutnya kejang dan dia hampir tidak bisa bernapas.
Semua orang menatapnya, dengan mulut ternganga.
Saat pintu kereta terbuka, dia berlari keluar, berlari naik dan turun tangga menuju pintu keluar. Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya, tidak dapat bernapas, cahaya putih menyilaukan penglihatannya.
Di luar stasiun, dia terhuyung-huyung memasuki jalan sempit yang diapit toko parfum dan makanan, sepi di bawah sinar matahari sore. Dia merosot ke dinding dan meluncur ke trotoar. Di kaca jendela sebuah toko, Irina melihat bayangannya. Maskara menetes di wajahnya bersama air mata sehingga dia tampak seperti badut. Kecuali bahwa dia tidak memakai riasan apa pun pagi itu.
Dia merasa seperti terbakar, dan dia tetap tertawa. Sesuatu tampak pecah di dalam dirinya, tetapi lolongan kegembiraan terus berlanjut.
Dia akan mati.
Dan kemudian itu berhenti.
Secara bertahap rasa sakitnya memudar, menyisakan kesemutan dan mati rasa.