Ini dia.
Aku memunggungi mereka, memutar pergelangan tanganku ke tali dan memberi tanda V kemenangan. Aku akan menjadi tindakan dendam terakhir sebelum mereka lari dari senjata rekan sebangsa dan senegaraku yang terus maju pantang mundur.
Seluas satu tangan dari wajahku adalah tembok. Semut-semut tentara berlarian masuk dan keluar dari kawah yang diledakkan timah. Para bajingan kecil berkumpul. Mereka tahu apa arti bayangan pada susunan batu bata. Mereka tahu apa yang akan terjadi.
"Dasar bajingan! Pengecut!"
Teriakanku telah membungkam monyet dan burung beo, tetapi tidak serangga. Desisan statis mereka tak henti-hentinya. Seperti pikiran orang-orang di belakangku, mereka tidak memahami keputusasaan manusia, panggilan seorang anak untuk ibunya.
Derak baut berderak menembusku.
Sebuah teriakan. Bukan bahasaku. Bukan aku.
Tembok itu meledak. Bagian-bagiannya menyengat wajah dan dadaku.
Untung meleset.
Tetapi pipiku sekarang menempel di tanah kering. Aku melihat hamparan tanah yang mulai memudar dari serpihan batu bata dan semut-semut yang berlarian.