terkadang payung hijau panjang
di atas kaki kereta MRT bagai palang lintang
rollercoaster yang membosankan
kugunakan  payung bagai tongkat
naiki tangga selayaknya bangsawan melarat
payung sebagai penunjuk
pegangan yang tak kokoh
‘tuk lompati genangan hujan.
kadang tersangkut di jeruji tersembunyi,
berdenting lepas dari tangan
bagai pohon mendadak tumbang
dalami lift air menetes
getah anggrek baru dipotong
wanita yang kesepian.
menolak membuangnya bersama yang lain
di tempat sampah dekat pintu.
canggung dan jangkung
sepanjang hari payung terbanting
ke tanah tersangkut di mantel terkutuk
maka kusimpan saja dekat meja kerja,
sejajar dengan sisi bilik
seiring berjalannya hari
benda itu mengering di samping
hilang kilaunya, hampir menyatu.
Kucoba mengenang
di mana kudapatkannya
akhirnya teringat
kotak barang hilang di bar.
masih pagi berderak karena ditinggalkan.
ambil saja yang kau mau, kata bartender.
orang selalu meninggalkannya,
tidak pernah kembali.
Semuanya identik:
padat, sekali pakai, mudah pecah.
atau, katanya,
mengambil yang itu,
sambil menunjuk.
itu dia, bersandar di dinding belakang
begitu dekat dengan tempat sampah
aku benar-benar terkesiap.
aku berjalan mendekati.
mengakuinya sebagai milikku.
Cikarang, 4 November 2024
Â
Note: Terima kasih kepada Panitia Kompasianival 2024 yang telah memberikan voucher Kompasiana Premium 3 Bulan.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI