"Keberatan kalau aku buka jendela?" kataku, masih marah karena peristiwa tadi pagi.
Aku menyeka keringat dari tengkukku dengan tangan. Kamu sedang di tempat tidur membaca, TV menyala. Ada pertengkaran di lantai atas. Kucing mondar-mandir seperti penjaga di lantai kayu paraket.
Kamu membalik halaman bukumu, mengangkat bahu.
"Ini negara bebas," katamu.
***
Suara-suara di lantai atas sekarang lebih keras, lebih jelas. Di TV, api di utara berkobar tak terkendali. Tenggorokanku terasa sesak, mulutku kering.
Kucing itu ada di ambang jendela, kepala miring, melihat ke luar.
"Aku mau mengambil minum. Kamu mau?" kataku.
Kamu mengangguk.
***
Aku pergi ke kulkas dan mengambil jus jeruk. Suara-suara di atas mencapai klimaks, dan mulai mereda.
Di luar, seekor anjing menggonggong sekali. Alarm mobil berbunyi. Udara di dalam terasa statis, dekat, pekat, seperti udara di akhir musim kemarau dengan sedikit hujan. Aku memberi makan kucing dan mengisi gelasmu.
***
Aku menyelinap di bawah selimut katun, berbaring di sampingmu, menatap ke atas. Kipas langit-langit berputar malas, tetapi tidak mengalirkan udara.
Api di utara terus berkobar. Suasana di atas sunyi. Kamu menyalakan sebatang rokok, berpaling, menyedotnya.
Aku melihat ujungnya menyala, bersinar merah. Aku mengisi paru-paruku dengan udara kotor dan memejamkan mata, bertanya-tanya bagaimana kamu bisa melakukannya.Â
Bagaimana kamu bisa membakar sesuatu dan tidak melihatnya terbakar?
Cikarang, 7 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H