Pintu diketuk.
Itu dia.
Aku sudah sembunyi di belakang sofa lebih cepat daripada kedipan mata.
Lebih keras sekarang.
Pergi, pergilah. Rasakan buku-buku jari lelah dan mengganggu bel pintu rumahku juga.
Aku mencoba menghindari panggilan teleponnya, tetapi tidak bisa terus-terusan. Maka sesekali aku menyerah.
"Apa kabar?"
"Baik-baik saja, semuanya baik-baik saja." Aku mencoba terdengar ceria agar dia berhenti menggangguku, berdoa agar dia tidak mulai membicarakan tentang istrinya yang tolol, tamannya, pekerjaannya.
Dia seorang aktuaris. Seperti pembunuh bayaran, tetapi tanpa sensasi.
Beberapa menit kemudian dan...
"Mereka menempatkanku pada proyek baru ini, sungguh menarik..."
Sambil menelan ludah, aku membiaRkan pikiranku mengembara ke pantai atau kota asing, sendirian, tak seorang pun mengenalku, sementara dia terus mengoceh.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Ketukan berhenti.
Tahan napas.
Satu menit.
Dua menit.
Aku berdiri tegak, ingin minum teh.
Lalu aku mendengarnya.
"Ma?" serunya. "Mama di dalam? Ma, ini aku."
Aku membeku.
Menyerah sekarang dan semuanya akan selesai.
Satu jam penyiksaan. Wajahnya yang gemuk dan bodoh terus merengek, dan aku ingin meraih wajan untuk mengakhiri semuanya.
Lalu dia pergi.
Burung-burung berkicau lagi dan aku menuju ketel.
Terkadang aku berpikir untuk pergi begitu saja.
Tidak baik, ya?
Mungkin ada komunitas untuk emak-emak sepertiku. Meratap, mengeluh, dan mencari tahu di mana kesalahan kami.
Lucu, kan?
"Bukan aku masalahnya," kataku pada burung gereja di ambang jendela, dan aku menyeruput tehku.
Tulisan DIJUAL menari-nari dalam pikiranku.
Cikarang, 31 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H