Pintu diketuk.
Itu dia.
Aku sudah sembunyi di belakang sofa lebih cepat daripada kedipan mata.
Lebih keras sekarang.
Pergi, pergilah. Rasakan buku-buku jari lelah dan mengganggu bel pintu rumahku juga.
Aku mencoba menghindari panggilan teleponnya, tetapi tidak bisa terus-terusan. Maka sesekali aku menyerah.
"Apa kabar?"
"Baik-baik saja, semuanya baik-baik saja." Aku mencoba terdengar ceria agar dia berhenti menggangguku, berdoa agar dia tidak mulai membicarakan tentang istrinya yang tolol, tamannya, pekerjaannya.
Dia seorang aktuaris. Seperti pembunuh bayaran, tetapi tanpa sensasi.
Beberapa menit kemudian dan...