Pertama, lepaskan lenganmu kendur lunglai di sisi tubuh.
 Luruskan tulang belakang, jadikan batang yang menjepit ke peta yang luas.Â
Tekuk lenganmu hanya pada bagian siku.Â
Angkat tangan ke depan, telapak tangan ke atas.Â
Satukan kedua tangan, kelingking ke kelingking, pergelangan tangan ke pergelangan tangan.Â
Rasakan denyut nadi berdetak di kedua tangan.Â
Keritingkan jari jemari ke atas dan ke dalam membentuk mangkuk.Â
Seperti dalam permainan anak-anak.Â
Bagai mengemis.Â
Biarkan kosong, mangkuknya.Â
Jangan lampirkan apa pun padanya---tidak ada jenis kelamin, tidak ada nama, tidak ada kelembaman metafora atau tamsil prosa.Â
Hanyalah udara yang kamu genggam.Â
Timbang, putar, diamkan.Â
Sekarang berharap mangkuknya penuh.Â
Berikan satu-satunya keinginanmu---
satu pagi lagi di musim kemarau di waduk, senyuman terakhir ibumu, kulit halus favoritmu, gigi bengkok, musim liga tarkam yang luar biasa gila.Â
Waktu yang kamu inginkan, seperti kegelapan murni sebelum gulungan berbunyi klik dan film diputar, saat kita semua---
orang asing, bersama-sama tanpa terhubung di balik mata terpaku---
saat kita semua tahu kegelapan seperti satu sendok teh jamu herbal terakhir, saat itulah jadikan harapan, tatap sekilas ke dalam mangkuk telapak yang kosong, saat itu kita dapat melihatnya penuh. Itu saja.
Cikarang, 1 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H