Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 149: Menerawang Fajar yang Belum Datang

9 Juni 2024   09:02 Diperbarui: 9 Juni 2024   09:20 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Kamu tahu bagaimana ini akan berakhir.

Bahkan sebelum dia menanyakan pertanyaannya, sambil mengusap rambutnya yang berwarna merah terbakar matahari, "Sandra, aku ... ehm ... apakah kamu mau ... makan di luar?"

Kamu tahu kamu akan mengatakan 'ya'.

Kamu tahu bahwa untuk kencan pertama kalian, dia akan mengajak kamu ke resto tempatan, sebuah warung padang kecil dengan makanan paling berlemak yang pernah kamu makan, dan akan menjadi bencana. Dia akan menumpahkan air ke seluruh makan malammu---nasi dengan udang goreng dan daun singkong---dan gaun batik bermotif bunga kembang sepatu.

Dia akan merasa tidak enak. Dia sangat ingin mengajakmu kencan kedua, tapi rasa malu membuatnya mundur.

Kamu menunggu beberapa hari sebelum meneleponnya, dan kencan kalian berikutnya berjalan jauh lebih lancar. Kalian bertemu di taman terdekat dan jalan-jalan menikmati suasana.

Pemandangan di luar sangat indah: tidak ada awan di langit, dan dedaunan berwarna hijau terang untuk musim kemarau. Sebagian besar percakapan kalian berisi tentang kisah pribadi---kalian kenal di SMA, kehilangan kontak saat kuliah, dan baru saja lulus dan pindah kembali ke kampung halaman.

Kalian juga mengambil jurusan yang sama, matematika, meski tidak ada yang tahu apa yang harus dilakukan dengan bidang itu.

Di akhir kencan, kamu menatap wajahnya, begitu tirus, begitu tampan, dan, kalian menggigil seperti penjelajah Kutub Selatan.

Kalian berciuman.

Kalian berkencan lebih banyak. Lebih sering. Kalian pacaran. Kalian mencari pekerjaan---sebagai akuntan. Dan setelah beberapa bulan, kalian menikah secara sederhana.

Ada banyak pertengkaran, sebagian besar karena hal-hal bodoh, seperti menu makanan atau pakaian yang dicuci, meskipun pada saat ini hal-hal tersebut tampaknya paling penting.

Pada satu titik kamu menjadi sangat marah sehingga kamu pulang ke rumah orang tuamu selama seminggu.

Ibumu menggelengkan kepalanya. Dia tidak pernah benar-benar ramah pada suamimu---menurutmu dia tidak ingin terlalu dekat dengannya karena, seperti kamu , dia tahu apa yang akan terjadi.

Dia bisa melihatnya, sama seperti dia tahu rahasia keluarga akan diwariskan kepadamu. Itu sebabnya ibumu menamaimu Kasandra, nama seorang peramal Troya yang bisa melihat masa depan. Tapi ini mitologi Yunani, jadi ada syarat wajibnya: dia tidak akan pernah bisa mengubahnya dan tidak akan ada yang percaya, begitu juga kamu dan ibumu.

Bahkan setelah pertengkaran terburuk sekalipun, kamu dan suamimu tidak pernah kehilangan cinta kalian. Kalian selalu saling memaafkan. Dan kamu mencoba untuk tidak terlalu memikirkan masa depan.

Setelah kalian bersama selama beberapa tahun, kalian mengucapkan kembali janji perkawinan saat berbulan madu yang tertunda, di suatu hari musim semi yang cerah.

Bulan-bulan paling membahagiakan dalam hidupmu. Bulan madu itu---kamu melihatnya bagai montase film, lengkap dengan musik jazz pop.

Kalian menari, memasak bersama, pergi ke kilang anggur, melakukan pengembaraan pribadi setiap hari.

Dan suamimu mendapat pekerjaan di luar negeri. Kamu ikut.

Tapi hanya beberapa bulan saja.

Musim gugur itu, saat badai petir, kamu mendapat telepon dari polisi: suami mengalami kecelakaan mobil, dibawa ke Rumah Sakit di pusat kota.

Aku bergegas ke sana, tapi tidak terburu-buru. Kamu tahu ini akan terjadi. Kamu sudah tahu sejak pertama kali dia mengajakmu kencan. Dan kamu tahu bahkan jika kamu berkendara secepat hujan turun, kamu tidak akan sampai di sana tepat waktu. Yang akan kamu lihat hanyalah jasad pria yang kamu cintai secukupnya terbujur kaku, memar dan remuk sehingga membuatmu ingin bertukar tempat.

Kamu melihat semua ini.

Tapi ibumu salah.

Kamu bisa mengubah masa depan jika kamu mau--- meskipun hanya dalam hal kecil.

Kamu dapat mengatakan 'ya' kepadanya, dan membiarkan segala sesuatunya berjalan sebagaimana yang kamu terawang, atau kamu dapat mengatakan 'tidak', dan apa yang baru saja kamu saksikan tidak akan terjadi.

Tidak ada kencan, tidak ada pernikahan, tidak ada duka.

Tidak ada rasa sakit.

Dia masih akan mengalami kematian dini---kamu bisa merasakannya---tetapi kabut waktu terlalu suram untuk menampakkan secara detail.

Kamu tahu bagaimana ini akan berakhir. Tapi mau tidak mau kamu merasa bahagia saat memikirkan dia. Memasak bersamanya, cekikikan sepanjang sore bersamanya, memeluknya, menari bersamanya, bermain game bersamanya, hingga fajar merekah di cakrawala malam ...

Dan setelah dia bertanya padamu dengan suara gemetar kamu menjawab dengan nada yang sama gugupnya,

"Ya, tentu saja."

Cikarang, 9 Juni 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun