Kamu menghela napas. Tentu saja, cowok ganteng bermata biru langit dan rambut acak-acakan pastilah sudah punya kekasih.
Kamu menggigit bibir dan memaksakan senyum.
"Kamu bisa meneleponnya dan mencari tahu. Atau mengirim pesan?" kamu menyarankan, sambil menggeser jari-jarimu sepanjang rak di depannya.
Dia mengeluarkan buku bersampul merah dan mengerutkan kening. "Tidak. Tidak, saya tidak bisa."
Kamu menatap matanya yang kini tampak bagai air laut yang dingin. "Oh?"
"Adriana meninggal," katanya singkat. "Musim gugur yang lalu. Saya ingin membaca buku kesukaannya. Dia selalu membicarakannya."
Tanganmu terangkat untuk menutup mulutmu. Tentu, dia lajang, tetapi juga sedang berduka. Â Â Â
"Maaf," katamu dan berdehem. "Turut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya."
Dia menggelengkan kepalanya dan memejamkan mata. "Tidak, saya yang minta maaf. Saya tidak tahu kenapa saya menceritakannya pada Anda. Hanya saja saya merasa perlu membaca buku itu, untuk melihat apa yang sangat dia sukai dari buku tersebut. Tetapi saya tidak ingat sama sekali, dan itu membuat frustrasi. Â Saya pikir mungkin kalau saya da di sini akan membantu, tapi..."
Kamu mengangguk. "Mungkin aku bisa membantu," katanya. "Mari kita lihat bersama-sama dan mungkin salah satu sampulnya akan mengingatkanmu. Ngomong-ngomong, namaku Tantina."
Kamu menyodorkan tanganmu.